Selasa, 13 November 2012

MAKNA TEMBANG MACAPAT

TRIWIKRAMA 

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari   alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga.  Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadhaMerca artinya panas atau rusak, padhaberarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.
KIDUNG PANGURIPAN
“SAKA GURU”
Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu).  Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan  di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut ini alurnya :
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harusnetepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaranmantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya  menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah  memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti.  Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada  yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal  banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmokodurokodursiladura sengkaraduracara (bicara buruk), durajaya,dursahasyadurmaladurnitidurtadurtamaudur, dst.  Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus  menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada  tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna.  Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.  Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.  Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar,  namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.  Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan.  Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri  semua bikin gelisah hati.  Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.  Malah-malah yang suka menuduh  menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana, rahmatan lil alamin.
Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke liang lahat (ngerong).WirangrongSak wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat,  yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa,  yakni  segenap jiwa dan raganya.
Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan suka menindas,  orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang  berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir. (Sumber : Sabdalangit.wordpress.com)

Selasa, 11 September 2012

Pinter, Bener dan Kober



Sebagian dari umat Hindu sudah barang tentu mengerti dan memahami ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Dewasa ini buku-buku agama juga sudah banyak dicetak untuk menambah wawasan umat Hindu pada khususnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang sejauhmana kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehar-hari. Otak kita dijejali dengan filsafat yang tinggi tetapi tidak jarang umat banyak yang keblinger. Orang cendikiawan (filosof) hebat banyak yang menganggap Tuhan itu kecil, dan banyak pula yang tidak mau ke pura karena ilmunya yang tinggi. Pada kesempatan ini kita akan membahas bagaimana seharusnya kita mejadi agama Hindu, apakah kita harus seperti itu? Apakah kita tidak perlu bergaul?.

Dalam Filsafat Jawa ada tiga hal yang mendasar yang menjadi dasar bagaimana kita harus bersikap. Yaitu Pinter (pandai), bener (benar), dan kober (sempat)Ketiganya saling berhubungan tidak bisa lepas dengan yang lainnya, semua ada keterkaitan. Yang pertama adalah Pinter. Pinter artinya umat Hindu harus pandai akan ilmu-ilmu dan ajaran agama. Kita harus memilikki wawasan global untuk menjawab tantang zaman ini. Orang bijak berkata dengan ilmu hidup kita akan mudah, dengan agama Hidup akan terarah, dan dengan seni hidup akan indah. Artinya untuk mengetahuiu ilmu, agama, dan seni kita harus belajar. Jika umat Hindu mau belajar paling tidak membaca sloka-sloka atau ajaran yang lain maka kita akan menjadi pandai. Kita akan bisa memilikki wiweka yaitu kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita tidak mudah diadu domba. Ini  penting sekali karena dewasa ini banyak sekaliu isu-isu negative yang sengajas dilempoarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Jika umat kita tidak cerdas secara spiritual dan intelektual maka kita akan mudah terpropokasi. Kita harus bisa melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Yang kedua adalah bener. Bener Artinya Umat Hindu harus berpikir, berbuat, dan berkata yang benar. Ketiganya adalah senjata saktinya umat Hindu. Jika kita sudah berpikir, berkata, dan berbuat yang benar maka orang akan suka kepada kita. Kita tidak akan mempnyai musuh di luar diri kita. Jadi pinter saja tidak cukup jika kita tidak berpijak pada kebenaran, maka kita akan hancur. Kita harus selalku berpijak pada kebenaran. Putra Bagawan Agastya bertanya pada Bagawan perihal hal-hal yang membuat orang menjadi dihormati dan jatuh. Ketiga hal itu adalah Ulah (perbuatan), Sabda (wicara), dan manah (pikiran). Artinya jika kita ingin hidup bahagia maka berpikir, berkata dan berbuatlah yang benar. Jika tidak ketiga hal itu akan membuat hidup kita tidak bahagia.  

Yang terakhir adalah kober.  Kober artinya mau meluangkan waktu. Jadi pinter dan benar saja tidak cukup jika kita tidak mau meluangkan waktu utnuk bergaul dengan masyarakat. Orang yang selalu berbuat baiksekalipun, orang yang pandai sekalipun tidak akan diakui, dihormati di masyarakat jika kita tidak mau bergaul di tengah masyarakat. Setinggi-tingginya ilmu yang kita milikki maka kita harus mau mengaplikasikannya di tengah masyarakat. Orang yang cantik akan dikatan cantik jika ada pembandingnya yaitu orang buruk rupa, orang kaya dikatan kaya jika ada yang miskin. Jadi manusia itu dikodratkan sebagai makhluk social, jadi kalau kita melawan kodrat sebagai makhluk sosial maka kita akan dikucilkan oleh masyarakat itu sendiri, siapapun orangnya. Untuk itu dalam Hindu diajarkan Konsep Tri Hita Karana (Tuhan, manusia dan alam semesta) yang mengajarkan kita untuk menjalin kaharmonisan ke bawah, ke samping dan ke atas. Ketiganya tidak bias kita pisahkan jika kita menginginkan hidup yang bahagia.

Demikianlah pentingnya kita mengetahui bagaimana menjadi Hindu. Umat Hindu harus pintar agar tidak mudah diadu domba, umat Hindu Hindu harus berpijak pada kebenaran, dan umat Hindu harus mau meluangkan waktu bergaul di tengah masyarakat. Ke tiga-tiganya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, semoga Tuhan selalu menyertai kita semua.  Terima kasih atas perhatian dan kebersamaan anda

“ Om Shantih Shantih Shantih Om



Rabu, 25 Juli 2012

HIDUP MENUNGGU MATI

SEMUA orang tahu, cepat atau lambat, kehidupan ini akan berakhir. Artinya, setiap orang pasti akan meninggal dunia. Tidak ada orang yang bertahan hidup dalam keabadian sepanjang masa seperti yang diharapkan oleh para kaisar di masa silam. Apapun yang kita lakukan, kematian pasti akan datang.
Kapan dia akan tiba? Kita menjawabnya dengan ungkapan, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu". Maksudnya, saya tahu bahwa suatu hari saya akan meninggal dunia. Namun saya tidak tahu kapan dirinya akan meninggal. Semua orang juga mengalami hal yang sama, hanya tahu tetapi tidak tahu. Kita hanya bisa menunggu kematian tiba.

Jumat, 25 Mei 2012

PRIBAHASA JAWA TERKAIT KETUHANAN DAN ETIKA

A. Ajaran yang berhubungan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa 

1.Pangeran iku siji lan nyawiji, ana ing endi-endi papan, langgeng, sing nganakake jagad sak isine, dadi sesembahan ing sadengah makluk, nganggo carane dhewe-dhewe. 

 Tuhan itu satu dan menyatu, ada dimana-mana, abadi, yang menciptakan dunia dan seisinya, jadi sembahan segala makhluk, dengan caranya masing-masing. Ajaran ini mengajarkan tentang kerukunan hidup beragama. Bahwa setiap agama meyakini adanya Tuhan. Dialah yang menciptakan dunia dan seisinya, menjadi sesembahan setiap makhluk-Nya. Nmun, tiap-tiap orang, tiap agama memiliki cara yang berbeda dalam menyembah Tuhan. Mereka berdoa, menyembah sesuai dengan kepercayaan yang diyakininya. Dengan menghayati ajaran ini, dunia pasti akan menjadi lebih damai karena tidak ada lagi pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan. 

Minggu, 06 Mei 2012

ASTHA BRATA : DELAPAN KONSEP KEPEMIMPINAN HINDU


 

1. Dewa Surya atau Watak Matahari
Menghisap air dengan sifat panas secara perlahan serta memberi sarana hidup. Pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap semangat kehidupan dan energi untuk mencapai tujuan dengan didasari pikiran yang matang dan teliti serta pertimbangan baik buruknya juga kesabaran dan kehati-hatian.

2. Dewa Chandra atau Watak Bulan
Yang memberi kesenangan dan penerangan dengan sinarnya yang lembut. Seorang pemimpin bertindak halus dengan penuh kasih sayang dengan tidak meninggalkan kedewasaannya.

Selasa, 17 April 2012

Dharma Shanti Paguyuban Majapahid Jakarta

Om Swastyastu 

Woro-woro, 

Kagem sedulur-sedulur Paguyuban Majapahid Jakrta, hadirilah Dharma Shanti Paguyuban Majapahid pada: Hari sabtu malam minggu, 28 April 2012, Tempat di Panggung Candi Bentar TMII, Jakarta Timur, sebelah Tugu Api 1 Gerbang TMII, pukul 17.00 s/d selesai, ajak pacar, anak, istri, dan orang tercinta di hati anda.

Mohon dibantu untuk menyebarluaskan undangan ini. Mohon dibantu nge-share, nge-tag ke sedulur semua, klo berkenan jadikan gambar ini sebagai Profil Picture facebook, YM, atau BBm  anda, terima kasih, suksme, matur nuwun, satyam ewa jaayate na nanrtam! semoga Hindu selalu jaya di nusantara. sura dira jayadiningrat lebur dening pangastuti!

Om Santi Santi Santi Om

Sabtu, 03 Maret 2012

KE-HINDUANMU SEMENTARA ATAU SELAMANYA?

Lamun sira nggegulang agami
Werdinen den bontos
Ywa kasengsem katrem ing ilmune
Upacara lan susilaneki
Kudu den lakoni
Kanthi setya tuhu

Bila engkau mempelajari agama Pelajariah secara mendalam Jangan hanya menyenangi ilmu, Upacara dan ajaran kesusilaannya Namun harus wajib kau jalankan dengan sepenuh hati.

Itulah sepenggal wirama mijil dalam bahasa Jawa yang mengajarkan umat Hindu agar tidak hanya mengetahui agama yang dianut dari pandangan luarnya saja. Kita sebagai umat Hindu tentu tidak mau dibilang sebagai umat Hindu yang “Hindu-Hinduan” atau juga sebagai umat yang beragama Hindu KTP.

Ke-Hinduan bukanlah sekedar agama yang dibutuhkan untuk bisa mencapai hidup yang tertib dan sejahtera. Ke-Hinduan juga bukan hanya obat yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah dan kesusahan. Bukan pula sebagai tempat seseorang yang hanya merintih, meminta dan meminta pertolongan dari Tuhan ketika mereka mendapatkan kesusahan. Sesungguhnya ke-Hinduan adalah suatu kepercayaan diri seseorang yang menyangkut hidup atau mati selama-lamanya. Ke-Hinduan bukanlah barang yang dapat kita jual belikan atau kita tukar dengan “barang lainnya” secara sembarangan. Ketika kita menerima nama Brahman atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tuhan dan Sumber dari segala kehidupan kita, maka saat itulah kita masuk dalam kehidupan yang sama sekali baru, yaitu suatu kehidupan yang berdasarkan iman di dalam agama Hindu. Umat sedharma, marilah kita instrospeksi diri. Apakah kita tetap di dalam ke-Hinduan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Brahman, ataukah semangat hidup kita dalam ke-Hinduan ini mulai pudar oleh keadaan yang kita alami?

Pindah agama bukan merupakan suatu hal yang dapat memecahkan suatu masalah. Orang yang pindah agama adalah orang yang hanya ingin menciptakan kepuasan pikiran sesaat. Banyak hal yang mendasari seseorang pindah agama.

Rabu, 08 Februari 2012

Menuju Tuhan : Jalan Itu Bukan Hanya Satu, Namun Empat Jalan

Pertama redaksi menyampaikan terima kasih kepada semua pembaca tulisan ini atas waktu yang Anda luangkan untuk kita sama-sama belajar tentang ajaran-ajaran Hindu Dharma. Dengan segala kerendahan hati penulis perlu sampaikan bahwa tulisan kecil ini dibuat semata-mata karena keingintahuan penulis untuk mengetahui "setitik air dari dalamnya samudera pengetahuan yang terkandung dalam Weda".
Catur Yoga berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu: Catur yang berarti Empat, dan Yoga yang berarti Hubungan (yoga berasal dari akar kata yuj). Dengan demikian Catur Yoga secara sederhana dapat diartikan sebagai empat jalan untuk mengadakan hubungan atau menuju Tuhan (Hyang Widhi, Paramatma, God, Allah). Ke empat jalan tersebut adalah: Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Karma Yoga, Raja Yoga.
Agama Hindu memberi kebebasan kepada para penganutnya untuk memilih jalan manapun dari ke empat jalan utama yang ada untuk menuju Tuhan. Keempat jalan ini memiliki sifat dan kekhasan tersendiri, yang dapat dijalankan oleh setiap orang sesuai bakat dan kemampuan (swadharma) masing-masing. Ibarat naik untuk mencapai puncak sebuah gunung, kita dapat mendakinya dari sisi manapun. Sisi Utara, sisi Timur, sisi Selatan, dan sisi Barat dapat kita daki, hanya masing-masing sisi memiliki medan yang berbeda-beda. Kemampuan dan keterampilan masing-masing orang dalam mendaki juga berbeda-beda.
Ke empat jalan tersebut sama baiknya, asalkan diikuti dengan ketetapan dan keteguhan hati. Hal ini seperti digemakan dalam pustaka suci Bhagavad-Gita:

Bagaimanapun jalan manusia mendekati-Ku Aku terima sama, O Arjuna Manusia menuju-Ku dalam segala jalan.  (Bhagavad-Gita IV: 11).

Rabu, 11 Januari 2012

Mulat Sarira di Tahun Baru 2012

       Dengan datangnya tahun baru 2012 berarti kita meninggalkan tahun 2011. Bagi sebagian orang, pergantian tahun merupakan saat yang dinanti-nanti, namun bagi sebagian lagi masih diliputi tanda tanya bagaimana kondisi tahun depan. Setiap pergantian tahun, selalu diikuti dengan refleksi dan resolusi baru. Luangkan waktu untuk melihat kembali apa yang sudah kita raih dalam satu tahun ini. Kemajuan apa saja yang sudah kita peroleh selama satu tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu?  Apakah semua target yang kita tetapkan di awal tahun berhasil kita capai di tahun ini? Adakah prestasi dan pencapaian terbaik yang ingin kita ulang kembali di tahun 2012? Adakah hal-hal yang ingin kita tingkatkan lebih baik lagi di tahun 2012? Apakah ada rencana dan target baru yang ingin kita raih di tahun 2012 nanti? Apakah ada sesuatu yang baru yang ingin kita mulai di tahun 2012 ini? 

Bunga, Air dan Dupa dalam Pemujaan, minimalis yang tetap Idealis

Penggunaan sarana sembahyang itu sebenarnya tidak lebih hanya bermakna simbolis untuk mendukung pemusatan konsentrasi kita ke hadapan Sang Hyang Widhi, seperti misalnya penggunaan sarana dupa yang bermakna sebagai saksi pemujaan sekaligus sebagai pelebur segala kekotoran serta sebagai pengantar doa kita kepada Sang Hyang Widhi (divisualisasikan dengan asapnya yang membumbung ke atas).  Sastra suci menyatakan bahwa upacara yajnya sebesar apapun akan dianggap sah apabila ada wanita sebgai lambang ibu alam semesta dan dupa sebagai saksi pemujaan (penghubung). Jadi kehadiran wanita sebagai perwujudan ibu alam semesta dan dupa sebagai saksi pemujaan sangatlah penting.
Hal yang sama juga terhadap penggunaan kewangen yaitu secara umum berfungsi sebagai Ardhanareswari. Dilihat dari asal usul katanya. Kewangen berasal dari kata wangi, lalu menjadi kewangian, setelah disandikan berubah menjadi kawangen yang berarti keharuman. Ini berarti kewangen juga  berfungsi sebagi sarana menharumkan nama (Prabhawa) Hyang Widhi. Biasanya kita gunakan pada persembahyangan Muspa yang ke tiga dan ke-empat (Dewa Samudaya dan Waranugraha puja). Jika dilihat sari sarana kelengkapannya wujud kewangen secara keseluruhan melambangkan aksara Ongkara. Karena melambangkan aksara suci Ongkara inlah kemudian dalam penggunaan Kewangen itu mengarah ke pengguna/pemujanya yang mengandung makna bahwa bahwa kita mendekatkan diri  pada Hyang Widhi dari yang abstrak ke yang riil, lebih jauh lagi diharapkan semoga Sang Hyang Widhi dapat bersemayam di hati kita masing-masing
Begitupun halnya dengan penggunaan sarana bunga, juga bermakna sebagai  simbolis yaitu sebagai lambang kesucian hati dan ketulusan hati kita dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi. Khusus penggunaan bunga, tidak hanya menjadi monopoli umat Hindu dalam persembahyangan, tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pernyataan rasa dan perasaan orang seseorang misalnya perasaan bahagia, perasaan turut berduka cita hal ini dilambangkan dengan karangan bunga.
     Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, berbeda dengan penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan atau untuk kegiatan di luar persembahyangan. Tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal itu sangat berbeda jika bunga itu diperuntukkan bagi sebagai sarana persembhyangan di samping memenuhi unsur menarik dan indah juga terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan menurut Kitab Agastya Parwa adalah sebagai berikut: bunga yang dimakan ulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Inilah jenis-jenis bunga yang tidak layak digunakan untuk persembahyangan.
       Dengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam persembahyangan kita tidak menggunakan sembarang bunga. Hal ini tentu didasari oleh maksud paling hakiki yang kita ingin mempersembahkan yang terbaik kepada Sang Hyang Wdhi. Semua kembali ke atmanastuti (kepuasan batin). Mudah saja kita mengumpamakanya. Semisal, diri kita pasti tidak mau makan yang sudah basi, atau menerima baju yang sudah rusak, dsb.
    Demikian juga dengan penggunaan air dalam persembahyangan. Air memegang perana yang penting dalam kehidupan umat manusia. Manusia tidak akan bisa hidup jikan tidak ada air. Air diyakini sebagai pembersih segala dosa, lara, wighna. Begitu juga dalam penggunaan bija sebagai sarana persembahyangan. Rasanya kurang lengkap (afdol) jika belum mendapatkan Bija. Bija umat Hindu meyakininya sebagai “wija” benih-benih kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan yang kita harapkan setelah selesai persembahyangan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons