Selasa, 31 Mei 2011

Makanlah Setelah Ber-“yadnya”

Dewanrsin manusyamsca
pitrn grhyasca dewatah
pujayitwa tatah pascad
Grhastha sesabhugbha

(
Manawa Dharmasastra III.117)
Maksudnya:
Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan,kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan.Dengan demikian ia lepas dan dosa.

UPACARA masaiban / yajna sesa dalam tradisi umat Hindu di Bali sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Namun sampai sekarang masih ada banyak perbedaan persepsi di kalangan umat Hindu tentang upacara sederhana itu. Upacara masaiban adalah tradisi untuk melakukan persembahan berupa sesajen atau banten setelah selesai memasak. Sesajen masaiban itu berbentuk sejumput nasi dengan menggunakan alas sepotong daun pisang atau sarana lain. Nasi itu dilengkapi lauk-pauk yang ada atau dengan sedikit garam saja.

Mengenai makna upacara ini umumnya sudah ada persamaan persepsi terutama di kalangan intelektual Hindu. Dalam Bhagawad Gita III.13 dinyatakan, makanlah setelah melakukan yadnya. Dalam sloka Bhagawad Gita itu dinyatakan dengan  istilah
yadnyasistasinah, yang artinya “makanlah setelah beryadnya”. Yang makan setelah ber-yadnya akan lepas dan dosa. Mereka yang makan tanpa ber-yadnya sebelumnya sesungguhnya makan dosanya sendiri.

Yang sering dimasalahkan adalah di mana banten itu mesti dipersembahkan. Ada yang mengacu pada Manawa Dharmasastra III.68 dan 69. Dalam sloka 68 dinyatakan, dosa manusia yang ditimbulkan oleh litha tempat penyembelihan yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung  dengan alunya dan  tempayan tempat air.


Dan sini, lalu ada yang menganjurkan agar banten saiban itu di persembahkan di lima tempat penyembelihan itu. Namun sloka 69 menyatakan bahwa untuk menebus dosa, setiap kepala keluarga digariskan untuk melakukan panca yadnya.  Ini artinya, persembahan banten saiban itu bukanlah  semata-mata di lima tempat penyembelihan tersebut, namun digariskan agar orang melakukan panca yadnya setiap harinya.
 
Dalam wujud ritual, masaiban adalah    bentuk pelaksanaan panca yadnya dalam bentuk  banten yang kecil atau inti saja. Oleh karena panca yadnya yang digariskan. maka banten saiban itu dapat dipersembahkan sampai ke sanggah merajan dan tempat-tempat lainnya di rumah tinggal       keluarga. Sebagaimana dinyatakan dalam sloka Manawa Dharmasastra III,717, keluarga boleh makan setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan yang Mahaesa, kepada Resi, kepada Dewa Pitara atau roh suci leluhur yang telah mencapai Siddha Dewata, kepada     penjaga spiritual rumah tinggal (hulu pekarangan) dan kepada Atithi atau tamu.

Dalam sloka 118 dinyatakan, barang siapa menyiapkan makanan hanya untuk dininya sendini sebenarnya ia memakan dosa. Kitab suci itu menetapkan, makanan suci itu adalah makanan yang telah dipersembahkan dalam upacara yadnya seperti banten saiban itu. Makan yang demikian itulah makanan orang-orang bijaksana.
Apa yang dinyatakan dalam beberapa sloka Manawa Dharmasastra dan Bhagawad Gita itu penn dijabarkan lebih dalam. Hal-hal tersebut seyogianya dipahami sbagai suatu konsep hidup yang baik, benar dan wajar. Konsep hidup yang dikandung dalam upacara masaiban itu adalah   konsep yang mendorong kita agar bekerja dengan baik, benar dan wajar terlebih dahulu kemudian hasil kerja itulah yang kita makan.

Konsep ini sangat tepat di segala zaman. Jangan seperti orang yang ingin mendapatkan   banyak rezeki tetapi tanpa bekerja. Dalam kearipan lokal Bali ada disebut “
ngayah dulu baru dapat catu atau hasil”. Makanya ada yang disebut “catu tanpa ayah”, artinya dapat hasil tanpa kerja.  Artinya, ada masyarakat yang bekerja tetapi tidak mendapatkan hasil.

Ini artinya, maknailah upacara masaiban itu dengan mengembangkan etos kerja yang baik. Etos kerja yang baik itu adalah etos kerja yang  profesional dari para pekerja mendapat perlakuan yang adil dan sistem kerja yang ditetapkan oleh kebijakan Pemerintahan Negara. Semoga dengan memaknai upacara masaiban ini kita bisa  meningkatkan sikap jujur dan adil dalam kerja.  Jangan hanya menyerahkan semua urusan kita pada Tuhan. Mohonlah karunia Tuhan dengan bekerja berdasarkan jnyana atau ilmu pengetahuan sebagai wujud bakti kita pada Tuhan.

Minggu, 29 Mei 2011

GEMA KARMAPHALA




Seorang anak dan ayahnya berjalan di pegunungan. Tiba-tiba, si anak terjatuh kesakitan, sambil menyalahkan dirinya sendiri ia berteriak: "AAAhhhhhhhhhhh!" Yang mengejutkannya, terdengar suara berulang, dari suatu tempat di gunung: "AAAhhhhhhhhhhh!". Karena penasaran, ia berteriak: “Siapa kamu?”. Jawaban yang diterimanya adalah pertanyaan yang sama. Marah pada respon yang diterimanya, si anak berteriak: “Pengecut!”, dan ia memperoleh jawaban: “Pengecut!”

Si anak menoleh pada ayahnya dan bertanya, “Apa yang terjadi, Yah?” Sambil tersenyum lembut ayahnya berkata, “Anakku, perhatikan dan dengarkan ya…” Dan kemudian si ayah berteriak ke arah gunung itu, “Aku mengagumimu…” Suara itu menjawab: “Aku mengagumimu...” Sekali lagi si ayah berteriak: “Kamu Sang Juara!”, suara itu pun menjawab “Kamu Sang Juara!”

Anak itu terkejut, namun tidak mengerti. Kemudian ayahnya menjelaskan: “Anakku tersayang, orang-orang menyebutnya gema, namun itulah sebetulnya kehidupan. Kita akan memetik apa yang kita tanam, kita akan mendapatkan kembali apa yang kita katakan dan perbuat. Sederhananya, hidup kita adalah refleksi dari perbuatan kita.”

(Karmaphala: Karma = perbuatan, Phala = Hasil. Hukum Universal Sebab-Akibat yang berjalan dalam Alam Semesta, berlaku pada siapa pun dan dimana pun. Selamat malam saudaraku, semoga sukses dan bahagia bersamamu. Salam Kasih dan Damai)

Sabtu, 21 Mei 2011

Empire Majapahit




Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.

Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan internasional-nya waktu itu adalah Gresik.

Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto).

Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!

Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)

Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.)

Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.

Dan kisahnya adalah sebagai berikut :

Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. ( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.

Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum mengetahuinya : Damar Shashangka).

Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.

Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.

Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. ( Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka ).

Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.

Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.

Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.

Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.

Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.

Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!

Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!

Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.

Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.

Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.

Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.

Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.

Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.

Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.

Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam!

Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!

Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!

Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka.)

Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.

Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.

Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.

Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya adalah santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Fatimah binti Maimun. ( Sampai sekarang makamnya masih ada,). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.

Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar Shashangka)

Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.

Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.

Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.

Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.

Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.


Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.

Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.


“Seorang Harimau yang dikangkangi oleh merak, tidak akan mampu lagi mengaum bebas.”

Berdirinya Giri Kedhaton

Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.

Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.

Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.

Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.

Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.

Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.

Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.

Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.

Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.

Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.

Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.

Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.

Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.

Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.

Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.

Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).

Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. ( Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi ).

Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.

Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.


Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.

Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.

Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.

Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).

Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).

Berdirinya Ponorogo

Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.

Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.

Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.

Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.

Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.

Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.

Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.

Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.

Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.

Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.

Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.

Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..

Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.

Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.

Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!

Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.

Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.

Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.

Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. ( Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka).

Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.

Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.

Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak ( Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.

Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.

Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.

Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.

Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!

Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.

Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!

Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!

Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.

Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!

Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.

serat gatoloco



SERAT GATHOLOCO (16) HABIS


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADENTANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMARSHASHANGKA



PUPUH XI
Kinanti


1. Gatholoco praptanipun, ing Cepekan pondhok santri, langkung sukaning wardaya, aningali para murid, samya sanget kurmatira, dhumateng Sang Gurunadi.
Kedatangan Gatholoco, dipondok pesantren Cepekan, sangat suka didalam hati, begitu melihat para murid,sangat patuh menghormati, kepada Sang Gurunadi (Guru Kehidupan).
2. Nulya minggah langgar gupuh, sesalaman genti-genti, riwusnya samya salaman, para murid nilakrami, wilujeng rawuh paduka, Gatholoco anauri.
Segera naik keataslanggar, bersalaman berganti-ganti, selesai bersalaman, seluruh murid menanyakankabar, keselamatan atas kedatangan (Gatholoco), Gatholoco menjawab.
3. Iyasaking pandongamu, ingsun ginanjar basuki, sasuwene ingsun tilar, sira kabehanak murid, apa padha kawarasan, santri murid awot sari.
Atas doa kalian semua, aku dianugerahi keselamatan, selama aku tinggal pergi, kalian semua anak muridku,apakah selamat juga, seluruh santri menjawab mengiyakan.
4. Pangestu brekah pukulun, palimarmaning Hyang Widdhi, sadaya kawilujengan, maksih langgeng kados lami, Gatholoco angandika, Kapriye wulangku nguni.
Atas restu dan berkah paduka, sehingga anugerahHyang Widdhi, membuat kami semua disini selamat sejahtera, tetap tidak berubahseperti dulu, Gatholoco berkata, Bagaimana dengan yang aku ajarkan dulu?
5. Apasira isih emut, sokur lamun ora lali, aturnya maksih kemutan, Kawula sanget kapengin, nuwun mugi kasambungan, lajengipun kados pundi.
Apakah kalian semua masih mengingatnya? Sukurlah jika tidak lupa. Semua menjawab masih ingat, Kami bahkan ingin, agar ditambah wejangan, wejangan selanjutnya bagaimanakah?
6. Gatholoco alon muwus, Panjalukmu sun turuti, sireku aywa sumelang, uga bakal sun sambungi, lah mara padha rungokna, manira tutur saiki.
Gatholoco pelan menjawab, Permintaan kalian akan aku turuti, jangan khawatir, akan aku tambah wejanganku, nah sekarang dengarkanlah, aku hendak memberikan wejangan.
7. Nugrahaning Buddhi iku, saurana Tri Prakawis, Cipta Ning kang kaping pisan, Panggraita kaping kalih, Sang Panyipta kaping tiga, Kanugrahaning Roh kuwi.
Anugerah Buddhi(Kesadaran), ada tiga macam, Cipta Ning (Pikiran menjadi hening) yang pertama, Panggraita (Perasaan murni) yang kedua, Sang Panyipta (Yang Mencipta) ketiga (maksudnya siapa saja yang Kesadarannya meningkat, maka dapat ditandai dengan tiga hal, Pikiran liar menjadi hening, Perasaan menjadi murni dan Kesadaran hanya akan menjadi perwujudan Sang Pencipta yang murni, tidak neko-neko, tidakcemas, tidak khawatir hanya menjadi perwujudan Kesadaran murni Sang Pencipta/Tuhan: Damar Shashangka), Anugerah Roh itu.
8. Sauranaiku Telu, ana dene ingkang dhingin, Urip Tan Kalawan Nyawa, ingkang kaping kalih kuwi, Ora Angen-Angen liyan, Allah Kewala kaping tri.
Ada tiga juga, yangpertama, Hidup tanpa nyawa (maksudnya hidup tanpa kehidupan selayaknya makhluk biasa. Makhluk biasa hidup ditandai dengan adanya nafas, yang telah mendapat anugerah kembalinya kemurnian Roh, maka dia telah hidup tanpa nafas, hidup tanpa darah, hidup tanpa detak jantung, hidup tanpa pergerakan paru-paru, dll.Nafas, pergerakan paru-paru, detak jantung, mengalirnya darah, adalah tanda-tanda makhluk BERNYAWA, namun siapa saja yang telah murni Roh-nya, maka dia telah HIDUP TANPA MEMBUTUHKAN SARANA-SARANA PENUNJANG ITU SEMUA, dan bisa disebut TELAH HIDUP TANPA NYAWA : Damar Shashangka), yang kedua, tak ada yang disadarinya lagi, kecuali hanya ALLAH saja dan yang ketiga.
9. Tan ana woworanipun, ingkang Wahdatilwujudi, Nugrahan Sakarat pira, saurana Tri prakawis, kang dhingin Adhepanira, Idhep ingkang kaping kalih.
Tak bisa dibedakan lagi, yang disebut Wahdatulwujud (Kesatuan Wujud ~ Wujud Allah dan wujud Roh telah melebur jadi satu : Damar Shashangka), Anugerah Sekarat ada tiga, yang pertama Arah Hadapmu (Adhep), Pikiran yang bulat (Idhep) yang kedua.
10. Madhep ingkang kaping telu, lamun sira den takoni, Nugrahaning Iman pira, saurana TriPrakawis, Sokur ingkang kaping pisan, Tawakal ingkang ping kalih.
Niat yang mantap (Madhep) yang ketiga (maksudnya manusia bisa dikatakan mendapatkan anugerah disaat kematian jika saat itu tiba Arah Hadap jiwa hanya satu kepada SUMBER ABADI,Pikiran hanya bulat kuat kepada SUMBER ABADI, dan Niat hanya satu terarah kepada SUMBER ABADI ~ Adhep, Idhep, Madhep, jika tidak maka dia akan kembali jatuh kedunia, akan terlahirkan kembali karena pikirnnya dipenuhi keduniawian : DamarShashangka), Anugerah Iman, ada tiga macam, Bersyukur yang pertama, Tawakkal (Pasrah) yang kedua.
11. Sabar ingkang kaping telu, pira Nugrahaning Tokid, saurana Dwi Prakara, krana Tetep ingkang dhingin, Wadi kaping kalihira, Nugrahan Makrifat Jati.
Sabar yang ketiga (manusiabisa disebut mendapatkan anugerah keimanan jika sudah mampu bersikap Sukur, Pasrah dan Sabar : Damar Shashangka), Anugerah Tokid (Tauhid), ada dua macam, Krana Tetep (Tetap Tunggal Adanya) yang pertama, dan Wadi (Rahasia) yang kedua (maksudnya manusia bisa disebut mendapat anugerah akan Tauhid jika memahami bahwa semua ini TETAP DALAM SATU KESATUAN TAK TERPISAHKAN dan memahami RAHASIA BAHWA TIADA YANG LAIN SELAIN TUHAN DISELURUH ALAM INI : Damar Shashangka), Anugerah Makrifat Sejati.
12. Sira sumaura gupuh, iku namun saprakawis, Ana Ing Kahananira, Anenggih Karsa:Rasaning, Rasa Wisesa Prayoga, Martabate Kramat kuwi.
Jawablah dengan cepat, hanya ada satu macam, Berada Pada Keberadaan-Nya, dan kehendak makhluk, menjadi rasa sejati yang berwenang dalam kemurnian sempurna, Martabat/Tingkatan/Uraian Kramat (Karomah/Kemuliaan) itu.
13. Mangretine ana Telu, Karem Apngal Para Mukmin, Para Wali Karem Sipat, a-Karem Dzat Para Nabi, lire Karem Ing Dzatullah, ya sok ana asihaning.
Sungguh ada tiga tingkat, Lebur dalam Apngal (Af-'al : Perbuatan/Aktifitas Tuhan) bagi para mukmin, bagi para Wali lebur dalam Sipat (Sifat : Watak Tuhan), sedangkan para Nabi lebur kedalam Dzat ( Dzat : Keberadaan Sejati Tuhan). Yang dimaksud dengan lebur kedalam Dzatullah (Dzat Allah), senantiasa dalam KASIH-NYA.
14. Ingkang Karem Sipat iku, uga ana gumletheking, lire Karem Apngalullah, mila ana obah osik, yen sebit paningalira, ening kabuka sayekti.
Yang lebur dalam Sifat, senantiasa dalam KEDAMAIANNYA, yang lebur dalam Apngalullah (Af-'alullah :Perbuatan Allah), seluruh diam dan geraknya untuk Allah, jika tajam kesadarannya, dan hening kekotoran batinnya, akan mampu membuka rahasia sejati.
15. Ing Sipat Jalal puniku, Jamal Kamal Kahar nenggih, dumadine imanira, sakbul gumletheking ati, dadine oleh sampurna, sampurnaning gesang nenggih.
Membuka kesejatian Jalal (YangAgung), Jamal (Yang Cantik) Kamal (Yang Sempurna) dan Kahar (Yang Kuasa), akan menjadi iman kalian yang nyata (keyakinan yang benar-benar telah menyaksikan sendiri), menjadikan Kedamaian jiwa, memperoleh kesempurnaan, kesempurnaan hidup yang sesungguhnya.
16. Martabate Nyawa iku, lamun sira den takoni, kathahe namung satunggal, iya iku Roh Ilapi, mung sawiji marganira, tegese Urip puniki.
Martabat/Tingkatan/UraianNyawa (Hidup), jika kalian ditanya, jawabannya hanya ada satu, yaitu Roh Idhofi (Ruh Yang Menguatkan), hanya satu keberaadaannya, sesungguhnya (Roh Idhofi) itu tak lain adalah HIDUP ini.
17. Ora nana Urip telu, ingkang mesthi mung sawiji, lamun sira tinakonan, endi Allah ing saiki, iku nuli saurana, sapa ingkang ngucap kuwi.
Tak ada HIDUP bercabang tiga, hanya ada satu, jika kamu ditanya, dimanakah Allah sekarang? Jawablah, Siapakah yang berani bertanya tadi?
18. Aja ta sireku umyung, yen sira dudu Hyang Widdhi, yektine ingkang den ucap, kang ngucap tan liyan Widdhi, nanging kudu kawruhanana, ing Panarima sayekti.
Janganlah kamu bingung (hai yang bertanya), JIKA DIRIMU BUKAN PERWUJUDAN HYANG WIDDHI/ALLAH (LANTAS SIAPAKAH DIRIMU), SESUNGGUHNYA APA YANG KAMU UCAPKAN, BERIKUT YANG MENGUCAPKAN TAK LAIN SEMUA ADALAH HYANG WIDDHI ITU SENDIRI. Akan tetapi harus benar-benarkamu sadari sendiri hal itu, dengan segala pemahaman total yang ada pada dirimu.
19. Ana ingkang Nrima iku, Kaya Toya lawan Siti, lawan ingkang Kaya Udan, apa dene Kaya Wesi, kalawan Kaya Samudra, ingkang Kaya Lemah Warih.
Pemahaman total itu,bagaikan Air dan Tanah, dan juga bagaikan Hujan, bagaikan Besi pula, juga bagaikan Samudera. Yang dimaksud bagai Tanah dan Air.
20. Den Rumesep tegesipun, Ora Pegat Kang Rohani, tegese kang Kaya Udan, Datan PegatTingalneki, ana maneh Kaja Tosan, Sakarsanira Mrentahi.
Resapilah segala pemahaman itu, tiada putus jiwamu (siang malam) meresapi tentang kesatuan wujud itu, yang dimaksud bagaikan Hujan, tak terputus melihat segala isi dunia adalah wujud-Nya (bagaikan rintik hujan yang sambung menyambung tiada putusnya), dan yang dimaksud bagaikan Besi, sekehendak yang membuat.
21. Ginaweya arit wedhung, pethel wadhung kudi urik, Ora Owah Sipatira, Isih bae Wujudneki, ingkang upama Samudra, Pituduh ingkang prayogi.
Hendak dibuat jadi celurit linggis, palu kampak senjata, Tapi tidak terpengaruh sifat besinya, tetap berwujud besi (begitu juga walau berwujud bermacam-macam, jangan terkecoh bahwa semua itu hanya perwujudan dari Tuhan semata), yang bagaikan Samudera, telah mendapatkan kesadaran yang sesungguhnya.
22. Puniku mesthine antuk, ing ujar sakecap tuwin, ing laku satindak lawan, ameneng sagokan nenggih, lamun wis Kaya Samudra, Ora Owah Tingalneki.
Telah menyadari, bahwa setiap ucapan, setiap langkah, diam dan gerak, semua bagaikan Samudera (dengan ombaknya ~ tak terpisahkan mana Tuhan mana Hamba), Tiada lagi Goyah Kesadarannya.
23. Sira andulu dinulu, ora nana tingal kalih, ora nana ucap tiga, dadi sampurna salating, weruh paraning sembahyang, weruh paraning ngabekti.
Yang melihat (Hamba) dan Yang Dilihat (Gusti), tiada lagi dua, tiada lagi ucapan bercabang tiga, inilah kesempurnaan shalat, tahu arah menyembah, tahu arah berbakti yang sesungguhnya.
24. Nyata bener ora kusut, lan weruh paraning osik, weruh paraning neng-ira, weruh paraning miyarsi, weruh paraning pangucap, weruh paran ngadeg linggih.
Nyata berdiam dalam Benar yang tanpa kesalahan, tahu asal gerak hati, tahu asal diamnya hati, tahu asal pendengaran, tahu asal pengucapan, tahu asal berdiri dan duduk kita siapa yang menggerakkan.
25. Lan weruh paraning turu, weruh paranira tangi, weruh paraning memangan, weruh paran nginum warih, weruh paran ambebuwang, weruh paran sene nenggih.
Tahu asal tidur, tahu asal jaga, tahu asal makan, tahu asal minum, tahu asal membuang kotoran, tahu asal membuang air seni.
26. Weruh parang seneng nepsu, weruh paraning prihatin, weruh paran ngidul ngetan, mangalor mangulon kuwi, weruh paraning mangandhap, weruh paraning manginggil.
Tahu asal kesenangan dan nafsu, tahu asal jiwa yang penuh kekuatan menahan hawa nafsu, tahu tempat selatan dan timur, utara barat sesungguhnya, tahu arah bawah, tahu arah atas yang sesungguhnya.
27. Weruh paran tengah iku, weruh paranira pinggir, weruh paraning palastra, weruh paranira urip, weruh kabeh kang gumelar, kang gumreget kang kumelip.
Tahu arah tengah, tahu arah pinggir, tahu tujuan kematian, tahu tujuan hidup, tahu segala hal yang mewujud, yang bergerak dan yang berkelip-kelip ini semua.
28. Tan samar weruh sadarum, anane samita iki, sira kabeh poma-poma, anakingsun para murid, sireku aywa sembrana, weruha rasaning tulis.
Tiada samar lagi mengetahui semuanya, semua wejanganku ini, wahai kalian semua ingat-ingatlah,oh anak muridku, jangan sampai ceroboh, harus memahami inti sari tulisan.
29. Dene sira yen wis weruh, kekerana ingkang werit, aywa umyung pagerana, aywa sembarangan kuwi, nganggo duga kira-kira, aywa dumeh bisa angling.
Jikalau kalian sekarang sudah memahami, jagalah benar-benar, jangan gampang diucapkan dan pagarilah,jangan sembarangan diucapkan, harus memakai kira-kira dan tempat yang sesuai, jangan hanya asal bisa bicara.
30. Lan maneh aywa kawetu, mring wong ahli sarak nenggih, yen maido temah kopar, karana rerasan iki, ora amicara sarak, amung Sajatining Ilmi.
Dan lagi kalau bisa jangan sampai terdengar, kepada ahli Sarak (Syari'at), jika berbantahan dengan merekaakan sia-sia, sebab wejangan ini, tidak lagi membahas sarak (syari'at), akan tetapi membahas Sejatinya Ilmu.
31. Ingkang renteng ingkang racut, tan ana kaetang malih, caritane soal ika, padha anggitening batin, dadi wijange sadaya, sira ingkang ahli buddhi.
Yang tertata dan yang terjaga, tak ada lagi yang perlu diwejangkan, tentang hal ini semua, masukkan dalam batinmu masing-masing, sehingga kamu bisa membuktikannya sendiri, wahai kalian ahli Buddhi (Ahli Kesadaran)!


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons