Kamis, 10 Januari 2013

RENUNGAN SIWARATRI



Renungan Siwaratri: 
Umat Hindu di Indonesia pada tanggal 10 Januari 2013 merayakan Siwaratri/Siwalatri. Satu malam yang dianggap sakral. Siwaratri adalah malam “Peleburan Dosa” atau yang umum di sebut Siwa Latri, konon katanya apabila kita bisa melewati satu malam dengan melakuan japa, puasa, atau semedi dengan mengingat Tuhan dalam konsentrasi terus menerus segala dosa kita akan terhapus.
kemudia timbul pertanyaan dalam hati, segampang itukah manusia menebus dosa hanya satu malam langsung Tuhan mengampuni segala dosa dan sumpah serapah kita?
Sebagai anak kecil waktu itu kita membutuhkan jawaban yang pasti, namun, kepada siapa kita bertanya, bahkan semua menjawab “anak mule keto cening”. Begitukah memang atau mungkin juga tidak tahu, kitapun terpaku dalam ketidak pastian.
Dalam  Siwalatri Kalpa juga dijelaskan hampir mirip dengan cerita bapak kita, sehingga kita melakukan bakti Siwalatri dengan teramat buta, tidak tahu kebenaran serta filosofinya. Bahkan sekarang juga saat ini, kita mengamati sepasang muda-mudi melaksanakan pebrataan Siwalatri di bawah rindangnya pohon bakau berduri di pesisir pantai Karangasem, entah…apa yang di lakukan? Malam Siwalatri berubah menjadi malam kenikmatan yang penuh dengan desahan
nafas serta rintihan nikmat.

Pada suatu hari Siwa sedang bercakap-cakap dengan Sakti-Nya, Dewi Parwati, dalam percakapan itu bertanyalah Parwati kepada Siwa “wahai Kanda semua para dewa amat hormat kepada-
Mu, begitu juga banyak pula pengikut Kanda yang sangat hormat serta sujud di kaki-Mu, tapi kenapa kanda tidak adil terhadap mereka?”, tanya Sang Parwati cemas. “Dinda ketahuilah diantara sekian banyak pengikut-Ku tidak ada yang tahu tentang kebenaran pelajaran yang Aku turunkan ke mereka, ada yang ingin hal duniawi, rohani, jnana, kesaktian, serta banyak pula yang mereka inginkan selain itu.” Parwati lanjut bertanya: “Lalu bagaimanakah caranya agar semua pengikut kanda bisa berada dalam rangkulan-Mu serta bersatu dengan-Mu”, selidik Parwati. “Dengarkanlah dinda (Dewi Parwati), barang siapapun dari pengikut-Ku yang setiap tengah malam, selalu berdoa serta berserah diri kepada-Ku, pada saat malam-Ku tiba (Siwa latri) Aku akan memberikan pencerahan kepadanya (bukan menghapus dosa) apabila mereka tercerahkan dan sadar bahwa setiap benda, mahkluk yang bergerak ataupun yang tidak, pohon semuanya yang ada di tujuh dunia ini adalah ciptaanku, tidak seorangpun yang mampu memiliki secara abadi, dan apabila mereka selalu mengatasnamakan diri-Ku  ketika berbuat (membunuh bagi prajurit, jagal, nelayan, dsb) pada saat itulah mereka terbebas dari semua dosa, pahala dan keragu-raguan. Sangat bodolah para pengikut-Ku apabila dia menginginkan pencerahan tanpa usaha yang keras serta tanpa penyerahan diri total, apalagi hanya satu malam,  mereka tidak akan mendapatkan pencerahan hanya dengan satu malam, maka Akupun akan memberikan kegelapan pada pikiranya. Pada saat malam-Ku (Siwalatri) Aku memberikan pencerahan dan kegelapan itulah sifat-Ku dari dulu, sekarang, dan nanti. Mereka semua adalah berasal dari tubuh-Ku dan semua harus kembali ke tubuh-Ku.” Dari cerita di atas kita bisa ambil dua makna yaitu pencerahan, bukan peleburan dosa dan untuk mendapatkan pencerahan tersebut kita membutuhkan kerja keras melalui sadhana ( disiplin spiritual) terus menerus setiap malam bukan satu malam saja. Mudah-mudahan cerita di atas bisa di jadikan renungan pada malam siwa latri, serta malam-malam berikutnya sebab setiap malam adalah malamnya siwa, namun dari sekian malam ada satu malam puncak yaitu sehari sebelum tilem sasih kepitu, (11-01-2013).


Rabu, 09 Januari 2013

SEJARAH WAYANG BEBER, DAN WAYANG BEBER DI MALAM SASTRA SARASWATI, PURA ADITYA JAYA RAWAMANGUN


 Sejarah Wayang Beber: Awal mula pewayangan adalah Wayang Watu (batu) pada abad ke 9, atau wayang yang terukir pada dinding relief candi-candi, kemudian berkembang menjadi wayang rontal. Hal ini terdapat pada Serat Sastramiruda tertulis Sengkalan Gambaring Wayang Wolu, yang berarti 861 Saka atau 939 Masehi.

Kemudian asal-usul Wayang Beber dimulai sejak zaman Kerajaan Jenggala pada tahun 1223 M, walaupun bentuknya semula masih belum sempurna seperti wayang beber, tetapi pada masa Jenggala dimulai adanya perkembangan Wayang Beber. Bentuk Wayang Beber masih berupa gambar-gambar pada daun siwalan atau rontal atau lontar.

Kemudian ketika Raja Prabu Suryahamiluhur menjadi Raja Jenggala dan memindahkan keraton ke Pajajaran di Jawa Barat, dia membuat kontribusi besar untuk perkembangan cerita Wayang Purwa yang di goreskan pada kertas yang terbuat dari kulit kayu. Disinilah awal dari pemakaian kertas untuk Wayang Beber pada tahun 1244 M. Kertas itu berwarna agak kekuningan dan disebut dlancang gedog. Gambar-gambar diatas kertas tersebut dapat dibuat lebih besar dan lebih jelas juga ditambahkan ornament-ornamen, tetapi gambar-gambar tersebut masih dilukiskan dengan warna hitam dan putih.
Pada masa Majapahit, ketika Jaka Susuruh menjadi raja Majapahit di Jawa Timur pada tahun 1316 M, gulungan kertas wayang tersebut disetiap ujungnya diberikan tongkat kayu panjang yang digunakan untuk menggulung cerita atau memperlihatkan cerita selanjutnya. Tongkat kayu tersebut dapat dipegangi dengan tangan selama penceritaan atau pun dimasukkan kedalam lubang yang disiapkan di kotak kayu tersebut. Saat itu orang-orang mulai menyebutnya sebagi wayang beber (beber yang berarti membentangkan dan juga menyingkap atau menjelaskan), yang hingga saat ini menjadi nama untuk jenis wayang beber.
Ketika pemerintahan Raja Brawijaya V (sekitar tahun 1378 M), sang raja memerintahkan anaknya yang ke tujuh, Raden Sungging Prabangkara untuk belajar wayang dan juga untuk menciptakan Wayang Beber Purwa yang baru. Bentuk yang baru tersebut menggunakan beberapa macam warna, tidak seperti aslinya yang hanya berwarna hitam dan putih. Dalam pelukisannya dapat dengan jelas membedakan antara raja dengan para punggawa. Raja Brawijaya juga memerintahkan anaknya untuk membuat tiga set cerita yang terpisah, sebuah cerita ‘Panji di Jenggala’, cerita ‘Jaka Karebet di Majapahit’ dan satu lagi cerita ‘Damarwulan’. Gambar yang terlukis dalam gulungan wayang beber itu bentuk wayangnya masih sama seperti yang terlihat pada wayang beber di Bali pada saat ini.
Pada masa Kerajaan Demak tahun 1518 M, ketika itu mulai timbul kerajaan Islam di Jawa dan mulai terjadi perubahan yang menentukan perkembangan wayang beber di masa selanjutnya. Gambar-gambar yang ada di dalam wayang beber masih melukiskan karakter dengan bentuk asli tubuh manusia. Hal tersebut dilarang dalam hukum fikih didalam Islam. Lalu utusan-utusan Islam dan juga para Wali membicarakan tentang cara terbaik untuk memodifikasi bentuk wayang tersebut, karena di lain pihak wayang tersebut dapat terus berlanjut dan dikembangkan, juga bisa menjadi sarana untuk menyebarkan agama Islam. Pada saat-saat itu pula Sunan Ratu Tunggul mengembangkan cerita Panji untuk wayang gedog. Pembaharuan bentuk wayang yang diprakarsai oleh para Wali, yaitu dengan melakukan stilisasi atau distorsi sehingga bentuk wayang yang semula realistis menjadi simbolik. Proporsi tubuh dan wajah wayang, tidak lagi menurut anatomi tubuh dan wajah manusia sewajarnya. Bentuk-bentuk simbolik pewayangan yang tercipta pada zaman Kesultanan Demak itulah yang menjadi model pertama (prototype) bentuk-bentuk simbolik pewayangan masa kini.
Ketika masa Kerajaan Kartasura tahun 1690 M, di bawah pemerintahan Mangkurat II di Kartasura, gambar Wayang Beber diciptakan kembali dengan lakon Joko Kembang Kuning. Cerita itu mencapai enam gulungan kertas dan pembuatannya selesai pada tahun 1692 M. Selain itu pada masa Raja Pakubuwana II di Kartasura, juga dibuat wayang beber dengan siklus panji dengan lakon Jaka Kembang kuning dan juga Remeng Mangunjaya yang selesai dibuat pada tahun 1735 M. Kemudian ketika masa pemerintahan Paku Buwana II, terdapat pemberontakan China dimana saat itu Keraton yang berada di Kartasura dapat dikuasai oleh musuh. Ketika dilakukan evakuasi, anggota kerajaan juga membawa semua benda-benda pusaka termasuk perlengkapan wayang beber Joko Kembang kuning. Sebagian dari wayang beber ini menghilang di daerah Gunungkidul, Wonosari dan sebagian lagi berada di desa Karangtalun, Pacitan yang hingga saat ini masih dipegang dari generasi ke generasi secara turun menurun.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan seni pertunjukan Wayang Beber tidak terhenti hanya terbatas pada pertunjukan dengan gaya tradisi lama. Berbagai pengembangan dilakukan untuk pertunjukan Wayang Beber, dari yang berbentuk alternatif hingga kontemporer. pergelaran Wayang Beber yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 29 September 1997 di gedung Purna Budaya, Bulaksumur. Gawang kelir digunakan untuk membentangkan gulungan kain bergambar wayang beber memberikan perspektif baru secara visual pada bentuk pertunjukan Wayang Beber. Instrumen dan gendhing iringannya juga berbeda, karena menggunakan seperangkat gamelanageng berlaras pelog dan slendro seperti dalam pertunjukan Wayang Kulit ditambah dengan instrumen lain yaitu keyboard. Demikian pula tata lampunya juga sudah digarap sebagaimana kemasan seni pertunjukan di panggung. Tampil sebagai Dalang adalah Ki Edy Suwondo, mencoba untuk menghidupkan gambar wayang beber yang statis itu kedalam penceritaan.
Dalang Musyafiq juga melakukan pertunjukan Wayang Beber bentuk alternatif dengan cerita Wayang Beber dari Pacitan. Dalam pementasan Wayang Beber tersebut Musyafiq menggunakan tiga cara pementasan Wayang Beber sekaligus yaitu: cara Pacitan, Wonosari, serta cara Musyafiq sendiri. Pertunjukan itu adalah versi pementasan Wayang Beber yang di buat sendiri oleh Musyafiq. Dalam pementasan Wayang Beber tersebut, Musyafiq tidak mengikutsertakan alat musik gamelan seperti yang seharusnya ada dalam pementasan Wayang Beber seperti kendang, rebab, demong, kempul danparon. Musafiq menggunakan alat musik modern berupa keyboard dan dua penyanyi sebagai sindendan penyanyi latar. Menurut Musafiq, penggunaan alat modern tersebut dalam rangka penyesuaian dengan keadaaan dan situasi masa kini. Keyboard yang digunakan Musafiq untuk memainkan musik campursari populer.

Kemudian pertunjukan Wayang Beber Kontemporer diawali oleh Wayang Beber Kota yang digagas oleh Dani Iswardana tersebut terjadi pada 14 Februari tahun 2005 dan pentas pertama kali di balai Soedjatmoko kota Solo dalam acara Menggambar Perubahan Solo. Cerita yang dibawakan dalam pementasan tidak lagi menggunakan Panji itu sebagai sebuah narasi penceritaan, tapi hanya spirit Panji itu masih melekat dalam bentuk gambar dan penceritaannya. Karena pesan tentang Panji itu adalah hilangnya cinta kasih, lalu mencoba untuk bangkitkan hal itu melalui sebuah kesadaran kritik sosial. Seperti hilangnya pasar tradisi yang diganti dengan mal yang lebih kearah sosial. Cerita tersebut adalah hal tentang hilangnya cinta kasih itu yang diingatkan untuk di bangkitkan kembali.

Bentuk lain pertunjukan Wayang Beber Kontemporer juga dilakukan oleh Komunitas Wayang Beber Metropolitan di Jakarta. Pengembangan yang dilakukan disesuaikan dengan kehidupan metropolitan di Jakarta yang menawarkan berbagai hiburan dan kesenian yang beragam bagi warganya. Komunitas ini mencoba untuk memunculkan fenomena metropolitan yang ada kedalam bentuk karya seni pertunjukan Wayang Beber Kontemporer dan mencoba untuk menjawab permasalahan isu-isu perkotaan tetapi dengan bentuk kesenian. Sumber:http://waybemetro.wordpress.com
waybemetro.wordpress.com
Wayang Beber Metropolitan

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons