Selasa, 25 Mei 2010

Inginkah Hidup lebih Baik?

Om Swastyastu,
Pada kesempatan ini saya akan membawakan sebuah judul” Inginkah Hidup lebih Baik?”. Saudara ...kalau kita mau mencoba merenungkan lebih dalam, sesungguhnya semua manusia mempunyai persoalan kehidupan yang sama. Persoalan ketidakpuasan, kegagalan, kesedihan, putus asa, kemarahan dan sebagainya bukan hanya dialami oleh satu orang saja. Persoalan ini adalah persoalan setiap orang, setiap manusia. Demikian juga keberhasilan , kebahagiaan, kerukunan adalah harapan setiap orang. Karena itu sangat dibenarkan bahwa : kehidupan ini adalah dukkha. Kehidupan kita sekarang ini adalah kehidupan dimana kita harus berjuang dan berjuang untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi. Setiap umat Hindu meskipun secara tidak terus terang mengakui bahwa kehidupan ini bukanlah kenikmatan yang tertinggi. Kehidupan ini bukanlah suatu puncak, bukan suatu keadaan yang sesuai dengan harapan kita. Secara langsung atau tidak langsung, setiap orang mengatakan bahwa kehidupan ini adalah proses untuk mencapai keadaan yang lebih baik sehingga akhirnya mencapai suatu kebahagiaan sejati atau dalam agama Hindu disebut Moksa.
Lalu mengapa kita harus menjalani kehidupan seperti ini, pontang-panting bekerja, dengan segala macam suka-duka, kegagalan, keberhasialan, kekecewaan, kepuasan dan sebagainya? Persoalan kehidupan yang kita jalani dan kita tanggung ini sebabnya adalah karena kita ini dilahirkan. Apa sebabnya kita dilahirkan? tidak mungkin sesuatu muncul dengan begitu saja, kalau segala sesuatu muncul dengan begitu saja tidak perlu kita bertanggung jawab atas perbuatan yang kita lakukan. Kita dilahirkan karena kita terlalu cinta, kita melekat pada kehidupan kita ini. Karena kita semua mempunyai nafsu keinginan. Nafsu keinginan itulah yang menyebabkan kita melekat, kita melekat pada suasana yang kita sukai, orang-orang yang kita cintai, pada jasmani kita, kebahagiaan kita, kita melekat pada kehidupan ini.
Nafsu keinginan yang membuat kita melekat sehingga setelah kita mengalami kematian maka kelahiran kembali (reinkarnasi) akan terjadi. Menurut Krsna dalam Bhagavad Gita II.44 dijelaskan bahwa selama pikiran seseorang masih tetap terikat dengan masalah-masalah duniawi dengan keinginan akan kekuasaan dan kenikmatan fisik semata maka selama itu pula seseorang sulit untuk melakukan konsentrasi terhadap keberadaan yang sejati atau Sang Hyang Widhi.
Nah, Umat Sedharma ... lalu bagaimana caranya agar kita sebagai manusia mampu untuk meningkatkan kualitas kita di kehidupan selanjutnya? Dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan bahwa diantara semua mahluk hidup hanya dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melakukan perbuatan baik atau buruk, oleh karena itu pergunakan sebaik-baiknya kehidupan ini untuk selalu berbuat baik. Karena itulah gunanya kita dilahirkan ke dunia ini. Hanya untuk memperbaiki kualitas hidup kita.
Kelahiran menjadi manusia pendek dan sangat singkat seperti halnya gerlapan kilat. Oleh karena itu mari kita pergunakan sisa hidup ini, selagi badan masih kuat, hendaknya dipergunakan untuk usaha menuntut dharma, artha dan ilmu pengetahuan. Sebab tidaklah sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak muda seperti ilalang yang telah tua menjadi rebah dan ujungnya tidak tajam lagi. Kalau kita sudah tua maka kesempatan untuk melakukan perbuatan dharma tentulah tinggal sedikit karena hanya kematian sajalah yang akan dinantikannya.
Marilah kita bersama-sama mulai detik ini kita pergunakan sebaik-baiknya untuk selalu melakukan perbuatan dharma karena kita tak akan pernah tahu kapan kita masih dapat hidup. Entah besuk, lusa atau di hari yang lain pasti kita akan kembali ke asal kita. Namun, semua orang tentu berharap bahwa ketika kita kembali akan membawa sebuah berubahan yang lebih baik. Hidup ini seperti halnya kawah candradimuka sebagai tempat penempaan dan pembinaan semua manusia agar menjadi lebih baik.
Kiranya hanya itu yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat. Dan mohon maaf atas segala kesalahan.
Om Santih Santih Santih Om.

Jumat, 21 Mei 2010

PENTINGNYA MENGHATURKAN SESAJI

“Om Swastyastu,
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan tenologi mepengaruhi perkembangan cara pandang sesorang terhadap tata cara pemujaan kepada Tuhan dalam hal ini adalah perubahan cara menghaturkan sesaji. Banyak kalangan yang setuju banten dihapuskan, ada pula yang setuju banten tetap dilestarikan, namun ada pula yang berpendapat bahwa tidak perlu dihapus tetapi hanya perlu disederhanakan sesuai kebutuhan saja. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas sebenarnya perubahan dari generasi ke generasi akan terjadi dengan sendirinya. Jadi perubahan itu tidak perlu dipaksakan, generasi penerus dan zamanlah yang akan merubahnya. Jika dipaksakan ini hanya akan mengganggu kenyamanan beribadah seseorang. Sebagian besar masyarakat masih enjoy dengan jalan yang mereka tempuh. Bukankah kita sepakat bahwa Hindu itu fleksibel seperti bola karet? Bukankah Hindu itu menyesuaikan desa, kala, patra setempat? Tetapi mengapa ada sekelompok umat yang ingin menghapus sistem banten yang ada? Ini PR kita bersama untuk menjawabnya secara arip dan bijaksana.

Kita dalam belajar buku apapun dan kitab apapun harus dibaca dan dipahami secara keseluruhan, jangan hanya kulitnya saja. Pemahaman yang setengah-tengah hanya akan membuat intrepretasi yang keliru, dan ini hanya akan membingungkan umat. Sehingga mereka bertanya-tanya, Hindu itu yang bagaimana? saya nyaman dalam berbhakti kok diusik? Biarkan Hindu tumbuh dalam keberagaman yang indah. Jangan kita sombong dengan tingkat gelar dan ilmu yang kita milikki.

Jika kita berani meninggalkan teradisi Weda ini maka kesejahteraan dunia ini tidak ada. Kita tidak boleh melupakan tardisi yang suci ini. Dalam Bhagavadgita III.13 juga dikatakan:
Yajna sishtasinah santo
Muchyante sarva kilbishaih
Bhunjate te ty agham papa
Ye paehanty atma karanat

Terjemahannya:

Ia yang memakan sisa-sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) Ia yang hanya memasak bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosa.

Dipertegas lagi dalam Bhagavdgita III.14 dikatakan:

Annad bhavanti bhutani
Parjanyad annasambhavah
Yajnad bhavati parjanyo
Yajnah karma samudhavah


Terjemahannya:

Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna adanya yajna karena karma.

Kita hidup di dunia ada kaitanya dengan kehidupan kita yang terdahulu, kita lahir dengan membawa hutang kepada Tuhan(dewa Rna), Rsi(Rsi Rna), dan leluhur (Pitra Rna). Kita lahir untuk memperbaiki karma kita, artinya kita diberi kesempatan untuk berbuat baik. Mengapa kita sia-siakan, terlebih kita lahir menjadi manusia? Di sinilah pentingnya menghaturkan sesajij. Sesaji merupakan perwujudan ketulusan kita, rasa terimakasih kita kepada Tuhan. Sesaji dapat menghilangkan dosa, lara, dan sial, sebel jika kita tulus mempersembahkannya. Sesaji juga merupakan linggih Tuhan dan leluhur itu sendiri, sehingga sesaji merupakan media komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan leluhur. Banten dapat meningkatkan kualitas kesucian seseorang jika diyakini.
Selama kita masih mau memakan nasi, daging dan makanan yang lainnya, selama itu pula kita tidak boleh lupa menghaturkan persembahan kepada Tuhan. Semua adalah ciptaan Tuhan bukan ciptaan manusia. Manusia hanya tinggal menikmatinya. Kita berhutang kepada Tuhan. Mebanten dapat kita lakukan dalam hal yang paling sederhana seperti Ngejod, Yadnya sesa di pinggir piring sebelum kita makan. Ini yang paling sederhana. Kita dalam menghaturkan sesaji jangan memaksakan diri, apa yang kita punya, dan apa yang kita mampu, itu yang kitra milikki. Jika kita mau peduli dan mau menghaturkan sesaji maka alam juga akan damai.
Demikian wacana hari ini, Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, semoga Tuhan selalu menyertai kita semua.

“ Om Shantih Shantih Shantih Om”

Rabu, 19 Mei 2010

Nama-nama Krishna di dalam Bhagavad Gita

Suatu ketika Shri Krishna mengetuk pintu rumah Shrimati Maharani dan percakapan terjadi percakapan berikut:
Radharani: Siapakah itu?
Krishna: Aku adalah Hari. Kata Hari di (dalam) Bahasa Sansekerta berarti seekor singa,kemudian dia menjawab:
Radharani: Tidak ada mangsa di sini, jadi kenapa kamu datang kesini?
Krishna: Aku adalah Madhava apakah kamu kenal aku? Kata itu Madhava, selain menjadi nama Krishna juga berarti musim semi, Kembali dia menjawab:
Radharani: Sekarang bukan waktu musim semi mengapa kamu datang.
Krishna: Aku adalah Janardana, pasti kamu mengenaliku aku?
Kata Janardana mengandung banyak arti, dua hal yang bertentangan dengan yang lain. Arti kedua - orang yang menyebabkan kesusahan ke masyarakat dan juga orang yang menghancurkan yang jahat. Shrimati Radha memilih arti yang pertama:
Radharani: Orang seperti kamu pantasnya tinggal di dalam hutan yang tidak ada orang lain karena kamu dapat menyebabkan kesusahan.
Krishna: Gadis muda ayo buka pintunya, aku adalah Madhusudana. Kata Madhusudana memiliki 2 arti yaitu ' pembunuh setan nama Madhu,' dan juga berarti lebah madu yang minum madu ( madhu) dari berbagai bunga. Kemudian dia berkata:
Radharani: Sekarang aku memahami, kamu suatu Dvirepha. Dvirepha memiliki arti suatu lebah madu atau orang yang tersingkir dari kasta. Lalu Radharani bilang bahwa Krishna mempunyai kebiasaan mengipas-ngipaskan lebah madu itu ke arah berbagai gopis, sehingga ia diasingkan.
Di cerita di atas Krishna menyebutkan berbagai nama namun diartikan berbeda oleh Radharani. Banyak dari nama ini juga terjadi ketika terjadi percakapan yang suci antara Krishna Dan Arjuna,dalam Bhagavad Gita namun dalam kitab tersebut tidak dijelaskan maknanya.

Di dalam Bhagavad Gita ada empat puluh nama berbeda yang digunakan oleh Arjuna untuk menyebutkan ( memuji)nama Shri Krishna. Masing-Masing nama ini menguraikan suatu atribut atau kekuatan dewa, makna filosofis, menjelaskan lebih dalam mengenai dialogue antara keduanya.
Julukan yang berbeda-beda yang disebutkan Arjuna Kepada Krishna bukan hanya untuk variasi tetapi konteks itu memiliki banyak arti. Ini adalah salah satu keistimewaan dalam mempelajari Bhagavad Gita sehingga kita memiliki acuan untuk belajar filosofi.

Bagian terbesar Bhagavad Gita tidak lain adalah ketika terjadi suatu dialogue antara Arjuna Dan Krishna yang diawali wejangan tentang bagaimana membebaskan diri dari kesusahan. Sebagai contoh, panggilan pertamanya kepada Krishna di teks itu tidak lain dari suatu perintah yang diberi oleh seorang prajurit kepada kusir. Arjuna berkata:
" O Achyuta, Tempatkan kereta perangku di tengah-tengah medan perang." ( Bhagavad Gita 1.21)
Di sini Arjuna menunjuk Krishna sebagai " Achyuta," yang berarti " orang yang tidak pernah mundur dari posisinya." Ini menyiratkan bahwa Krishna, meskipun ia adalah raja yang tertinggi, mempunyai rasa kasih sayang untuk penggemarnya walaupun Arjuna menunjuknya sebagai seorang kusir. Bagaimanapun juga hal itu bukan hal yang pantas disandang oleh raja yang agung. Barangkali ini lah keagungan Tuhan yang akan memberi hukuman kepada orang yang salah dan memberi penghargaan kepada orang yang bijaksana. Seperti halnya seorang Ayah, ketika ia kembali ke rumah akan meluangkan waktu untuk bermain dengan cucu lelaki dan menuruti perintah dari anak-anaknya.

Tentu saja itu adalah sifat alami Krishna yang amat berbelas kasih untuk menerima pekerjaan yang rendah sekalipun dari penggemarnya. Ketika Kakak laki-laki Arjuna- Yudhishtra melakukan pengorbanan bear ( yajna) Rajasuya, masing-masing anggota keluarga telah ditugaskan suatu tanggung jawab yang berbeda dan apa yang Shri Krishna lakukan? Raja yang besar itu mengabdikan diri untuk mencuci kaki para tamu yang datang kepada yajna itu. Yudhishtra berkata dalam Bhagavata Purana:
" Bagaikan cahaya matahari yang tidak akan susut ketika terbit atau tenggelam, meskipun demikian tindakanmu tetapi sama sekali tidak mengurangi kemuliaanmu." ( 10.74.4)

Krishna mematuhi perintah Arjuna dan kereta perang itu ditempatkan di tengah dua pasukan yang akan bertempur. Kita semua pasti mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Melihat dekat dan orang-orang yang dia sayangi siap untuk mengorbankan jiwanya, Arjuna terendam dalam kesedihan dan mengalami keputusasaan. Dengan badan yang gemetar, Arjuna berkata:
" O Madhusudana, aku tidak ingin membunuh keluargaku ini, walaupun mereka akan membunuhku”. (Bhagavad Gita 1.35)

Julukan Madhusudana berarti pembunuh setan bernama " Madhu." Hal itu mengacu pada pembasmian raksana itu oleh raja sebelum terciptanya dunia ini. Kata" Madhu" juga berarti ' madu,' dan setan Madhu itu muncul di dunia ini tampak manis kepada kita..Dengan ini, Arjuna mengingatkan Krishna bahwa ia telah membunuh raksasa sebelumnya, apakah perlu ia perlu melakukan hal yang sama.
Arjuna bertanya:
" O Madhava, bagaimana mungkin kita akan bahagia dengan pembunuhan kita sendiri?" ( 1.36)

Kata Madava berasal dari kata" Ma" berarti Dewi Lakshmi dan " Dhav" berartilah suami. Dengan julukan itu Arjuna ingin menunjuk bahwa Krishna adalah Dewi Keberuntungan, yang selalu menunjuk jalan yang akan menyelamatkan keluarga Arjuna dari kemalangan yang segera terjadi.
Seperti itu lah ceritanya, Krishna bercakap-cakap dengan Arjuna bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh kedamaian dengan ketenangan hati dan pikiran, Arjuna kemudian berkata:
" Pikiran itu tidak bisa tenang, selalu bergolak dan sangat kuat. Untuk menundukkannya lebih sulit dibanding pengendalian angin.O Krishna" ( 6.34)

Filosofi India tentang Kehidupan sangat sempurna dan nyata bahwa sangat sukar untuk mengendalikan pikiran itu.Bagaimanapun seseorang tidak harus melakukannya, di sana banyak jalan lebih mudah menuju keselamatan. Karena pikiran tidak tetap, tetapi seperti pelacur yang pergi ke sana kemari menuju obyek yang diinginkan, solusinya adalah mengawinkannya dengan seorang suami yang bijak. Sebenarnya, Krishna adalah tujuan terakhir, dan seperti magnet yang menarik besi didekatnya, ia juga secara alami menarik penggemar nya.Tentu saja, julukan dari namaNya adalah simbolis untuk dapat ' dipahami ' oleh penggemarnya.

Arjuna di dalam ayat ini, menjelaskan bahwa ia tidak mampu untuk mengalihkan pikiran resahnya ke arah kaki Krishna dan sebagai gantinya memohon Krishna untuk melakukannya.
Krishna kemudian perlahan-lahan memberikan wejanganKemudian Krisna berkata:
" Mereka yang mencoba untuk membebaskan diri mereka dari umur tua dan kematian dengan tempat perlindungan di dalam aku, mereka akan menyadari Kenyataan Yang tertinggi ( Brahman)." ( 7.29)
Arjuna kemudian mempertanyakan:
" Purshottama, apa yang merupakan Kenyataan Yang tertinggi?" ( 8.1)
Purshottama berarti " Orang Yang tertinggi," ia satu-satunya yang dapat memberikan pengetahuan Kenyataan Yang tertinggi .

Selasa, 18 Mei 2010

Pura se-Jabodetabek

Jakarta Pusat

1. Pura Agung Wira Satya Buana
Jl. Kesehatan, Komplek Paspampres,
Tanah Abang, Jakarta Pusat
Piodalan : Purnama Sasih Kesanga
Pemangku Gede : I Gusti Ketut Rai (Telp. 5455195)

Jakarta Timur

1. Pura Adhitya Jaya
Click to EnlargeJl. Daksinapati Raya No. 10, Rawamanun, Jakarta Timur
Telp. 4705758, 4752750
Email : hindu@idola.net.id
Piodalan : Sabtu Umanis Watugunung (Saraswati)
Pemangku Gede : AA. Ngurah Nugraha (Telp. 8605883)

2. Pura Penataran Agung Kerta Bumi
Taman Mini Indonesia Indah, Kelurahan Pasar
Rebo, Kramat Jati, Jakarta Timur Telp. 8409337
Piodalan : Purnama Sasih Kapat
Pemangku Gede : Pande Nyoman Sudiarsa

3. Pura Mustika Dharma
Komplek Kopassus Cijantung, Jakarta Timur
Piodalan : Hari Galungan
Pemangku Gede : Made Putra Yadnya

4. Pura Prajapati Purna Pralina
Alamat : Komplek Brimob Akses UI Kelapa Dua, Jakarta Timur
Piodalan : Tilemi Sasih Keenam
Pemangku Gede : Ida Bagus Rai Sujana

5. Pura Widya Dharma
Click to EnlargeBumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta Timur
Piodalan : Purnama Sasih Ketiga
Pemangu Gede : Wayan Siki

6. Pura Agung Taman Sari
Komplek AURI Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur
Piodalan: Purnama Sasih Jiesta / Purnama Siddi (Mei 2001)
Pemangku Gede : DR. Ir. I Made Kartika Diputra (Telp. 8613719)

Jakarta Utara

1. Pura Dalem Purnajati Tanjung Sari
Jl. Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara
Piodalan : Tumpek Kuningan
Pemangku Gede : Ketut Nurjala

2. Pura Segara
Click to EnlargeJl. Kremasi RT.007/04, Cilincing, Jakarta Utara
Telp. 4417615
Piodalan : Purnamaning Kenem
Pemangku Gede: Carmin Purnajati (Maming)

Jakarta Barat

1. Pura Candra Praba
Kavling POLRI, Jelambar, Jakarta Barat
Piodalan : Purnama Sasih Kedasa

Jakarta Selatan

1. Pura Amerta Jati
Jl. Punak, Pangkalan Jati - Cinere Jakarta Selatan
Piodalan : Purnama Sasih Kasa

2. Pura Mertha Sari
Jl. Kenikir No. 20 Desa Rengas, Rempoa Jakarta Selatan (Telp. 7421161)
Piodalan : Purnama Sasih Sada
Pemangku Gede : Pak Kus

3. Pura Kesatrya Loka
Komplek Pomad, Jl. Kalibata, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Piodalan : Purnama Sasih Kepitu
Pemangku Gede:

4. Pura Ksatria Dharma
Asrama Pusdik Polwan, Jl. Ciputat Raya, Jakarta Selatan
Piodalan : Tumpek Landep
Pemangku Gede :

5. Pura Dharma Kanti
Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan
Piodalan : Buda Kliwon Ugu
Pemangku Gede:

6. Pura Agung Widya Mandala
Komplek Yon Zikon
Desa Putera Lenteng Agung - Jakarta Selatan
Piodalan : Tumpek Wayang
Pemangku Gede: Ida Bagus Rai Sogatta

7. Pura Agung Wira Dharma Samudra
Bumi Marinir Cilandak
Jakarta Selatan
Piodalan :
Pemangku Gede:

Kota Administratif Depok
1. Pura Tri Bhuana Agung
Jl. Kerinci Raya No. 10, Depok Timur
Telp. 77827610 - 77827610 - 7706353
Piodalan :
Pemangku Gede:

Tangerang
1. Pura Dharma Siddhi
Kav. P & K, Desa Parung Serab, Kec. Ciledug, Tangerang
Piodalan : Buda Kliwon Ugu
Pemangku Gede:

2. Pura Kertha Jaya
Jl. Pasar Baru No. 102, Tangerang Telp. 021-55790498
Piodalan : Tumpek Krulut
Pemangku : Mangku Made Pasek

Bogor
1. Pura Giri Kusuma
Komplek IPB Baranangsiang IV, Bogor Baru, Bogor
Piodalan : Purnama Sasih Kapa
Pemangku :

2. Pura Parahyangan Agung Jagatkartha
Gunung Salak, Bogor
Piodalan :
Pemangku : Jro Mangku Gde Darsa

3. Pura Raditya Dharma
Alamat : Komplek TNI-AD (Ditbekang) Cibinong, Jakarta Timur
Piodalan : Galungan.
Pemangku Gede : Nyoman Susila

4. Pura Lido
Secapa Polri Lido
Jl. Raya Bogor Sukabumi,
Piodalan : Hari Raya Kuningan
Pemangku :

5. Pura Cikuray
Asrama Bali Cikuray, Jl. Cikuray No. 10, Bogor
Piodalan : Hari Raya Saraswati

6. Pura Atang Sanjaya
Komplek LANUD Atang Sanjaya, Semplak, Bogor


Bekasi
1. Pura Agung Tirtha Bhuana
Alamat : Jl. Jatiluhur I Kalimalang, Bekasi Barat
Telp. 8840099
Piodalan : Tumpek Landep
Pemangku Gede : Made Mudita

2. Pura Prajapati
Alamat : Komplek Jaha Indah, Pondok Gede, Jakarta Timur
Piodalan : Tilem Sasih Ketiga
Pemangku Gede : Wayan Mujiyasa

Serang, Banten
1. Pura Eka Wira Anantha
Kesatrian Gatot Subroto (Komplek Kopassus)
Serang, Banten (info lengkap)
Piodalan : Purnaming Kapat
Pemangku Gede : Made Sudiada

RITUAL RUWATAN


Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2. Ritual ruwat untuk lingkungan.
2. Ritual ruwat untuk wilayah.
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat.
1. Ruwatan Diri Sendiri
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata. Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang bersifat baik.
Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III, Mantra Yuda
Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari sedulur papat limo pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain (makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa:
1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,
3. Bersemayam di telinga kanan,
4. Bersemayam di telinga kiri,
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,
7. Bersemayam di mulut,
8. Bersemayam di sekeliling pusar,
9. Bersemayam di kemaluan,
sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa :
1. Beras 4 kg,
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),
3. Ayam,
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),
5. Benang Lawe satu gulung,
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,
8. Kelapa 1 buah.
Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil membaca mantera: “Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”. (Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan bagiku).
Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkan.
2. Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain : a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat.
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.
3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas
Disini akan dijelaskan contoh ruwatan di Kepatihan Danurejan, dari Babon Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden hadipati Danureja IV).

Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :
a. Dimulai dengan doa pembuka :
“Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu samas sidhdhem
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala, yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang dalam membuka pagelaran wayang :
“Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga, pada retane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar kepara sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad.
Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba telenging samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah, bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti.
Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru, sakathahe jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah, sakathahe guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada nurunake, guntur tanana, kang tumama, nora sangsaya suda, malah sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana kocap bebandhem, malar dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang gagana arsa panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru
”.
c. Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng. Pakem ini dimulai dilagukan :
“Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah tengerannya, kang daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murub, amarab”.
d. Setelah Pakem Sontheng selesai, dibacakan :
Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa lidah, angan-angan tanpa driya”.
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca Kidung Sastra Pinandhati :
Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas siddam. Hong Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku socaning manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku sangagunging wong, lambeku sang sarapati, utegku sang watu rejeng, ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu sumong, guluku sang lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah mraju, geger lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung kembar, penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel, silitku elenging landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku waja glijenm planangan waja binandung, pringsilan waja malela, uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas cecuri, entutku mercu dadari, iduku parang teritis, riyakky pulut bendala, wentisku lemah bajangan, delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan, tindhakku lindhu prahara, geter pater panebaku, awedi kang buta kabeh, sawedana Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing dewata muja, ajiku sang ata ati, amaraja nata wuwusku, amahraja ta ajiku, Ya Yamaraja, Ya Jaramaya, Ya Yamarani, Ya Niramaya, Ya Yasilapa, Ya Palasiya, Ya Yamidora, Ya Rodomiya, Ya Yamidosa, Ya Sadomiya, Ya Yadayuda, Ya Dayudaya, Ya Yasiyaca, Ya Cayasiya, Ya Yasihama, Ya Mahasiya.
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya”.
Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada di langit-langit mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan (peringatan) di jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan keras-keras uleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan tampak seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagi dandhanggula.
“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti amaca, kawruhana kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu manjing, manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya, sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”.

f. Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang” lagu kentrung :
“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung lan keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, sampurnaning banyak Dalang”.
Hong Ilaheng pra yoganira.
Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa arep memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar tanpa galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winatu aji, asri dinulu tingkahe, tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, saliring mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek angutapel, wus kebek jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat, dinulu rupane ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel muni, ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang, sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar, sedina yen ana angring yen garing keaadak, ngelu puyeng pilek watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murub benceretan, yen angrungu kidung iki, wong asomah padha banyak dalang, miwah yen prawan tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki banyak dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, sampurnaning banyak dalang”
.
g. Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api yang datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara, disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan mantera :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka aneng wetan.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kidul.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kulon.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana elor.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana tengah”.
h. Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu :
“Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa, acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih, premanaku ing sulasih”.
i. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi, mijil yogyanira Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, aranemandalagiri, Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
“Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas, pinucukan manik putih, rinawe-rawe kumala marbuk miging gandanira cendhana kara, gandhane jebat kasturi, kuning sira kocapa Bethara, ijil Bathara kusika, sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa buta, ana sira rupa ula, kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang arane panji kumala, pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
j. Diteruskan dengan Sastra Kakancingan :
“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu sampir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak-akengunung arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.

Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat.
k. Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada proses ini, kekuatan gaib dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah :
“Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku, singa barong ing gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku, raja tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu, nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha lunga, wong sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.
Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samangko.
Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan Uma-uma, arep ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi, sibrenggala si brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu lumaku rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko.
Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana umayini, widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”.
l. Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang Damarjati, kelire Hyang Tinjomaya, Peluntur alimun, kekuping Sang Hyng Kuwera, peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke Bethara Gana, alinggih pang kayu Tera Sumbu, awune Bethara Brama, arenge Bethara Wisnu, kewala anonton wayang, Sang Hyang Eyang Guru kang amayang, widadari kang nggameli, anyangang iyang ayine, suu tegang ora wangewang, sehamana maya, katon kang anonton nora katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon, kang tinonton nora katon, kang anonton nora katon”.
m. Diteruskan dengan Sastra Panengeran, dengani dinyanyikan lagu Dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna, turuku lindur buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang, sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku katu kastuba, randhu kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga peksa tulaleku, gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku Hyang pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta dengen, awedi kang manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran, lemah paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan, slirane kang lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates jejebangan, lemah setra akil ing wang, kang katungkul manut ingwang, dandang bango salirane, anauta lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan buyan, tuju teluh tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, supatane adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater pangucapku, ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret ing kendhepku, lebda wara mandi sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug gelap, aku kang Hyang Candra sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur, pangleburan rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, tan tumama saliraku, tuju teluh taragnyana, budhug edan ayan buyan, lebur kabeh musna ilang, aku Sang Hyang Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg wesi pinayungan kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”.

n. Diteruskan dengan Kidung Panengeran lanjutan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku, dadaku Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga Pulet tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku mas pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta dengen, tumingal ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu tinumpuk, paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal kang ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk, lemah anggiring sapi, lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe kang watu aeng, teja-teja ing ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug gelap, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga Pamolah, aku tengeraning angin, sindhung lesus leliweran, prahara kalawan geter, udang braja salah mangsa, angagem dendha trisula, musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu, ngongdokaken mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg ing nggonku ring windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri, trinaya catur bujangga, rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra, kinemiting pancaresi, sang kusika gagra mestri kurasa, sang Pritanjala, surenggana, surenggini, kinemiting widadara, kinemiting widadari, kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama luwan bismawana, nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa mring aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti, papaku jati yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya minamuna mas wahak”.

o. Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng, randhu kepuh karangan kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang katungkul manut ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane awak dhewe, nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila upadarwa, budhug edan ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules bencretan, ngelu puyeng pilek watuk, sarta ingkang kena welak, nguni weh padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra lepas ing tanganku, ke ka ruwat mala, geter pater pangucapku, gerah minangka sabdaku, sabda wara japa mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing senenku, ilanga rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap, ilanga sang rupa jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa, ilanga sang rupa dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni rupa dewa, ya minamuna maswahak”.

p. Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata sang rupa Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun ingkang angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna, nuraga nirupa darwa, ya minamuna maswahak”.
Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala, rambut anak sukerta dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat. Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat (dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).
Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan (gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan Kidung Rumaya, sekar sinom yang menyebutkan adanya lelembut di tanah Jawa sebagai berikut :
Tembang Sinom
Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura.
Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira.
Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa.
Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang.
Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.
Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan.
Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.
Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng Purbalingga.
Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh ing Ngayah kajanganira.
Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing Kudus kayanganira.
Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama Karawelang kang rumeksa.
Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung, kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.
Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng Jatimalang.
Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa sukuning ardi Baita.
Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager Waja Rahaden Kusumayuda.
Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate ula lanang.
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya, manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira, keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung Kadilangu kang den reksa.
Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.

Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja IV).
Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat. Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis huruf hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan nga ta ba ga ma sampai ka ra ca na ha dilakukan dengan cara sebagai berikut :
* Ditulis melingkar diatas lempengan emas,
* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja,
* Pati geni selama sehari semalam penuh,
* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.
* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.
Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian ditempel pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan warna tinta dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
* Melakukan puasa selama 21 hari,
* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,

Senin, 17 Mei 2010

ETOS KERJA

ETOS KERJA
Oleh: anggota Paguyuban Majapahid

“Om Swastyastu, Om Anubadrah Kratawo yantu wiswatah.”
“Om Swastyastu”

Semoga semua pikiran yang baik datang dari segala penjuru dan kita semua selalu dalam keadaan selamat atas kerta wara nugraha Hyang Widhi.

Kita mungkin sering merasa capek dan lelah ketika melakukan tugas, hanya karena kurang bisa menikmati keasyikan melakukan suatu pekerjaan. Kita sering merasa melakukan sebuah pekerjaan hanya untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup atau bahkan kebutuhan keluarga. Kita tidak pernah menyadari bahwa tidak seorang manusiapun dapat membebaskan dirinya dari ikatan kerja atau karma seperti yang dijelaskan dalam Bhagawadgita:

Na hi kascit ksanam api
jatu tisthaty akarma-krt
Karyate hy awasah karma
sarwah prakrti-jair gunah

Terjemahannya:
Tak seorangpun dapat tetap diam tanpa melakukan kegiatan kerja walau sesaat saja, karena setiap orang dibuat tak berdaya oleh kecendrungan-kecendrungan alam untuk melakukan kegiatan kerja (Maswinara, 1997:164).

Melalui sloka ini kita dapat memahami; bahwa selama manusia menjalani kehidupan di dunia ini, mereka tak dapat melepaskan dirinya dari kegiatan kerja, karena tanpa kerja kehidupan pun tak akan berlangsung. Kehidupan ini adalah kegiatan kerja itu sendiri, dan setiap kegiatan kerja membawa akibat masing-masing. Pernyataan ini dapat dipahami melalui sebuah realita bahwa manusia tidak dapat dikatakan hidup jika detak jantungnya berhenti, manusia tidak dapat dikatakan hidup jika darahnya berhenti mengalir, manusia tak dapat dikatakan hidup jika otaknya tidak memberikan respon terhadap keadaan disekelilingnya, apalagi jika nafasnya berhenti.

Orang kebanyakan salah kaprah bahwa dengan menjadi niskriya atau meninggalkan perbuatan dalam Tri Warga akan mencapai kebahagiaan. Orang yang salah kaprah seperti itu melihat kehidupan yang indah dalam obyek serba benda, wanita, kekayaan, kekuasaan, gaya hidup, perhiasan dan segala “lingkungan buatan” sebagai sarana pemuas yang dijadikan dasar atau standar untuk mengukur tingkat kehidupan yang bermartabat.

Tetapi phenomena itu tidak lebih sebagai obat kimiawi yang menurunkan kadar gula dalam darah seorang penderita diabetes untuk sementara waktu ; tetapi setelah reaksi obat berhenti bekerja didalam tubuhnya, kadar gula penderita diabetes akan merangkak kembali ke stadium yang mengkawatirkan. Baru setelah mereka masuk kedalam atmotpher spiritual dan mengerti bahwa “kerja adalah sebuah kewajiban” maka dia akan dapat merasakan betapa indahnya hidup ini.

Dengan menyadari ”kerja sebagai suatu kewajiban” dan memasrahkan segala kegiatan kerja sebagai sebuah pengabdian maka, pada saat itu dia mulai meninggalkan “mutiara-mutiara palsu” yang selama ini menyilaukan mata batinnya, melalui kegiatan kerja orang akan memperoleh kebahagiaan. Begitu banyak contoh dari kehidupan para nastika atau atheis, yang akhirnya meninggalkan kehidupan glamour dan akhirnya tenggelam khusuk dalam kebahagiaan rohani setelah mengalami bahwa kebahagiaan sejati tergelar dihadirat Tuhan.

Demikian pentingnya kita meningkatkan etos kerja untuk meningkatkan produktivitas, kita tidak boleh berdiam diri, karena kita harus tetap ikut memutar roda kehidupan di jalan kebenaran. Cukup sekian wacana yang saya sampaikan, semoga bermanfaat. Selamat Hari Raya Galungan, semoga kebahagiaan senantiasa menyertai kita semua.

Om Shantih Shantih Shantih Om

Ketua Baru Telah Terpilih!


Pada tanggal 28 Maret 2010 yang lalu, Paguyuban Majapahid Jakarta telah melaksanakan Mahasaba ke-V guna memilih Ketua Paguyuban yang baru, menggantikan Ketua lama periode 2007-2010. Pelaksanaan Mahasabha tersebut bertepatan dengan pelaksanaan Dharma Santhi Nyepi 1932 Caka.
Adapun Ketua dan Pengurus Paguyuban Majapahid periode 2010 –2013 adalah:

KETUA : Eko Priyanto
WAKIL KETUA I : Pardiyo
Anggota
1. Eko Prasetyo
2. Nanang Suhadi
WAKIL KETUA II : Thukul
Anggota
1. Mulyadi
2. Yektiman
3. Daryono
4. Kadi Suwarno
WAKIL KETUA III : Mujiyanto
Anggota
1. Sumadi
2. Surono
WAKIL KETUA IV : Agus Parmanta
Anggota
1. Triyana
SEKRETARIS : Paryono
1. Wk. Sek I : Lesmi
2. Wk. Sek II : Deni
BENDAHARA : Supartini
1. Wk. Bendahara I : Paini
2. Wk. Bendahara II : Efi Dianti

selanjutnya Ketua Paguyuban Majapahid yang baru membentuk Seksi-seksi baru antara lain:

Seksi Kesekretariatan : Misnan
Seksi Publikasi : Paryanto
Eko Prasetyo.

Ketua yang baru sudah terpilih, Bapak Eko Priyanto merupakan orang Hindu yang telah berkecimpung dibidang Agama. Beliau telah lama ikut dalam organisasi-organisasi Hindu dilingkungan Pura Agung Tirta Buana Bekasi. Kemampuannya memang sudah tidak dapat diragukan lagi. Beliau yang sibuk berprofesi sebagai wiraswasta ini masih sempat juga untuk mengajar anak-anak Hindu di Pasraman Ksatrya loka Kalibata.
Beliau yang lahir di Sragen,14 April 1982 ini telah meluluskan sekolahnya di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta pada tahun 2006, Lulusan Ilmu Pendidikan dan Keguruan Agama Hindu. Tentu saja kita semua sebagai umat Hindu yang berasal dari jawa mengharapkan dengan terpilihnya ketua yang baru dapat lebih memberikan pengetahuan dan pengalaman mengenai ajaran-ajaran agama Hindu.
Kami mengharap semoga umat Hindu Jawa khususnya senantiasa melestarikan budaya-budaya Jawa dan lebih penting lagi umat Hindu tidak mudah dikonversi.
Kami dari redaksi mengucapkan selamat kepada Pengurus Paguyuban Majapahid Periode 2010-2013. (Red.)

Minggu, 16 Mei 2010

Menelusuri perjalanan panjang nabi Isa

Veda berarti pengetahuan. Ia adalah pengetahuan lengkap dan sempurna tentang jagat-raya dan segala makhluk penghuninya. Ia juga mencakup pengetahuan tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Karena itu, kemunculan para nabi dan rasul dimasa lalu dalam masa Kali-Yuga yang kini sedang berlangsung, telah disebutkan dalam Veda.

Mengenai kemunculan Nabi Isa atau Jesus yang juga dipanggil Isa Al Masih, Veda menyatakan sbb. “Kemudian di masyarakat kaum mleccha muncul Isa putra Kumari dan mengajarkan pengetahuan rohani kepada orang-orang Amalika. Dikatakan lebih lanjut, Pada usia 13 th. Isa pergi ke India dan kemudian ke Himalaya. Disana ia melaksanakan pertapaan dibawah bimbingan para rishi dan siddha-yogi sehingga ia secara rohani menjadi matang. Setelah itu ia kembali ke Palestina untuk mengajarkan pengetahuan rohani kepada bangsanya”. (Bhavisya-Purana, Pratisarga Parva, Khanda 3, ayat 16-33)”.

Di dalam Bible (Injil) tidak disebutkan kemana dan dimana Jesus berada ketika berusia 13 sampai 29 th. Masa 17 tahun menghilangnya ini disebut “The lost years of Jesus Christus”. Dan ternyata selama periode itu Jesus tinggal di India.

Dalam bukunya “The Unknown Life Of Jesus Christ” yang terbit tahun 1894, wartawan Rusia Nicolas Notovich menjelaskan bahwa selama masa hilang itu Jesus tinggal di India dan kemudian di Tibet. Fakta ini diketahui dari naskah-naskah kuno yang dia temukan tahun 1882 di biara Himis, 25 mil dari Leh, ibu kota Ladakh di Tibet. Dikatakan bahwa naskah-naskah kuno itu berasal dari India dalam bahasa Sanskerta, lalu diterjemah kan kedalam bahasa Pali dan selanjutnya ke bahasa Tibet.

Dalam bukunya “In Kashmir And Tibet”, Svami Abhedananda membenarkan temuan Notovich ketika dia mengunjungi Tibet tahun 1922. Dia datang langsung ke Leh di Tibet dan mendapat penjelasan dari para Lama yang memperlihatkan naskah-naskah kuno dalam bahasa Tibet tentang keberadaan Jesus di India dan Tibet dimasa lalu.

Dalam bukunya “Heart Of Asia”, Nicolas Roerich menjelaskan bahwa ada banyak ceritra tentang Jesus yang dia dapatkan dari berbagai masyarakat selama melakukan perjalanan dari tahun 1924 sampai dengan tahun 1928 ke Asia Tengah (Sikkim, Punyab, Kashmir, Ladakh, Karakorum, Khotan, Kashgar, Kareshahr, Urumci, Irtysh, Altai, dsb). “Semua berceritra bahwa Jesus dahulu pernah kesana, dan bahwa ia memiliki kemampuan melakukan hal-hal ajaib”, begitu Roerich menyimpulkan. Selanjutnya, dalam bukunya “Himalaya”, Nicolas Roerich mengutip isi naskah kuno Tibet berusia 1500 tahun yang menjelaskan bahwa pada usia 13 tahun Jesus secara diam-diam meninggalkan orang-tuanya dan pergi ke India bersama para pedagang guna menyempurnakan diri secara spiritual dan mempelajari hukum-hukum Buddha.

Pada tahun 1939 guru musik Elizabeth G Caspari beserta suami Charles, dibimbing oleh rohaniwan Clarence Gasque, pergi ke pegunungan Kailash di Himalaya dan terus ke Tibet. Di Ladakh Caspari dan Gasque diperlihatkan tiga gulungan naskah kuno oleh petugas perpustakaan biara dan dua bikhu. Mereka berkata kepadanya, “Buku-buku ini menerangkan bahwa Jesus anda dahulu tinggal disini”, dan terus membacakan Injil Johanes. Caspari dan Gasque tertegun mendengarnya.

Tahun1951 Hakim Agung Amerika Serikat William O Douglas pergi ke Himis. Dalam bukunya, “Beyond The High Himalaya”, dia menulis, “Penduduk setempat masih percaya bahwa Jesus pernah tinggal di tempat mereka (Himis). Ia datang ketika berusia 14 tahun, kemudian pergi kearah barat pada usia 28 tahun dan sejak itu tidak ada lagi beritanya. Mereka berkata bahwa sewaktu tinggal di Himis, Jesus dikenal dengan nama Isa”.

Tahun 1975 Robert S Ravics, Professor Anthropology at State California University pergi ke Leh, ibu kota Ladakh di Tibet. Pada kunjungan berikutnya, oleh seorang teman, dia diberitahu bahwa seorang Tabib setempat menyatakan bahwa di dalam biara dekat disana tersimpan naskah-naskah kuno yang menjelaskan bahwa Jesus pernah tinggal di Himis. Juga Ravics diberitahu oleh orang-orang terhormat setempat bahwa Jesus pernah tinggal di Tibet.

Seorang petualang bernama Edward F Noack dari Sacramento Californis USA bersama istrinya Helen telah mengunjungi Asia Tengah (Tibet, Nepal, Sikkim, Bhutan, Ladakh, Afganistan, Balukistan dan Turkestan) sebanyak 18 kali. Dan mereka sudah 4 kali ke Leh, ibu kota Ladakh. Ketika berada di Himis tahun 1970-an, seorang Lama memberitahu mereka bahwa ada naskah-naskah kuno yang menceritrakan perjalanan Jesus ke Ladakh tersimpan disatu ruangan dalam biara terdekat.

Kesaksian orang-orang tersebut diatas berdasarkan naskah-naskah kuno dan ceritra penduduk tentang kisah perjalanan Jesus di India dan Tibet, ditunjukkan oleh peta berikut.

Ketika Isa (sebutan Jesus dalam naskah-naskah kuno) berumur 13 tahun banyak orang kaya dan bangsawan berkunjung ke rumahnya karena mereka ingin Isa jadi menantunya. Lalu Isa diam-diam meninggalkan orang tuanya (karena tidak mau menikah). Dan bersama para pedagang Isa lalu pergi ke India dengan tujuan menyempurnakan diri secara rohani sesuai perintah Tuhan dan mempelajari hukum-hukum Buddha.

Ketika berusia 14 tahun, Isa tinggal di Sind, dan disana orang-orang Jaina minta agar ia tetap tinggal bersama mereka. (Tetapi Isa menolak) dan melanjutkan perjalanan ke Jaggernaut (=Jagannatha-puri) di Orissa. Disana ia disamput hangat oleh para brahmana. Mereka mengajarkan Isa tata-cara mempelajari dan mengerti Veda, mengajarkan Veda dan menyembuhkan penyakit dengan doa (=mantra) dan mengusir roh jahat yang mengganggu jasmani mereka yang kesurupan.

Isa tinggal selama 6 tahun di Jaggernaut, Rajagriha, Benares dan kota-kota suci lainnya di India. Penduduk yang tergolong sudra dan vaisya amat senang kepadanya. Oleh karena tidak mematuhi petunjuk agar tidak bergaul dengan orang sudra dan vaisya dan mengajarkan Veda kepada mereka, para brahmana dan ksatriya lalu memusuhinya.

Disamping itu, Isa menolak banyak ayat Veda yang menjelaskan tentang Tuhan, makhluk hidup dan alam material. Dan ia sangat menentang pemujaan arca-vigraha Tuhan (yang dianggap berhala).

Oleh karena kini para brahmana telah menganggap Isa merusak ajaran Veda, lalu mereka berencana membunuhnya. Seorang sudra memberitahu Isa tentang rencana mereka, dan Isa meninggalkan Jaggernaut di malam hari. Kemudian Isa tiba di Gautamida (=Kapilavastu), tempat kelahiran Buddha. Orang-orang dengan ramah menyambut kedatangannya disana.

Di Gautamida Isa belajar bahasa Pali dan ajaran Buddha. Enam tahun kemudian Isa secara resmi diangggap guru kerohanian. Kemudian ia meninggalkan daerah Nepal dan Himalaya, terus pergi ke Rajputana, lalu ke-arah barat dan menyebarkan ajarannya kepada penduduk yang ditemuinya.

Isa sampai di Persia dan penduduk setempat dengan ramah menyambutnya. Tetapi para pemuka agama setempat men-curigainya, sebab ia mengajarkan amanat rohani yang tidak cocok dengan ajaran Zoroaster. Mereka kemudian membawa Isa keluar tembok kota dan meninggalkannya sendirian di tempat sunyi agar dimangsa binatang buas. Tetapi Isa selamat melanjutkan perjalanannya ke arah barat dan akhirnya tiba di Palestina/Israel pada usia 29 tahun.

Kitab Al Quran menyatakan bahwa Jesus tidak mati dipalang salib. Ia mengungsi dari Palestina setelah penyaliban, tidak pula naik ke langit melainkan pergi keluar negerinya sendiri karena diselamatkan Tuhan. Dikatakan, “Kami telah mengungsikan Jesus dan ibunya ke satu tempat yang tinggi (Al-Mukminum 23.50)”. Menurut hadits Nabi, Jesus hidup selama 120 tahun.

Isa termasuk anggota paguyuban Essena di Jerusalem. Pada tahun 1873 ditemukan satu naskah kuno yaitu surat yang ditulis oleh seorang anggota Essena kepada sahabatnya di Alexandria, Mesir. Naskah kuno ini diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1907. Di dalam surat itu dinyatakan bahwa setelah disalib, Jesus tetap hidup.

Tahun 1957 Kurt Berna, Sekretaris German Institute, menerbitkan buku “Yesus Nicht am Kreuz gestorben (Jesus tidak wafat di kayu salib)” berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan seksama para pakar yang meneliti kain Kafan Turin yang dahulu dipakai membungkus tubuh Jesus setelah disalib. Lalu Panitia peneliti Kafan Turin yang dibentuk oleh Vatikan tahun 1969 mengumumkan hasil sama : Jesus tidak mati disalib.

Didalam Bible sendiri dikatakan bahwa Jesus datang (ke Bhumi) guna mencari 12 domba (=suku) Israel yang sesat dan sebagian besar hidup di negeri bagian timur dunia.

Kepada para muridnya, Jesus berkata, “Adalagi padaku domba lain yang bukan masuk kandang domba ini, maka sekalian itu juga wajib ku bawa dan domba-domba itu kelak mendengar suaraku, lalu menjadi sekawan dan gembalanya seorang saja (Yahya 10.16)”. Ini berarti setelah selamat dari penyaliban, Jesus pergi ke negeri Timur untuk mencari suku-suku Israel yang hilang (tersesat) dan mengajarkan mereka amanat rohani yang dibawanya. Dan ternyata memang demikianlah kejadiannya.

Pernyataan Al Quran bahwa Jesus dan ibunya Maria diungsikan oleh Tuhan ke tempat yang tinggi (AL Mukminum 23.50), berdasarkan bukti-bukti pisik yang ditemukan, jelas yang dimaksud “tempat tinggi” adalah daerah Kashmir di India. Sebab dikatakan lebih lanjut bahwa “tempat tinggi” itu aman, indah dan memiliki banyak mata air. Ini cocoksekali dengan suasana alam Kashmir yang bergunung-gunung dengan pemandangan damai nan indah dan mata air melimpah.

Bahwa Jesus tinggal di Kashmir setelah selamat dari penyaliban, diungkapkan dalam Veda (Bhavisya-Purana) yaitu kisah pertemuannya dengan Raja Shalivahana (=Shalevahin), cucu Raja Vikramaditya, di daerah Huna (dekat kota Srinagar di Kashmir sekarang) yang menjadi wilayah Kerajaannya. Percakapan mereka adalah sebagai berikut; “ko bhavanithi tvam praha sakovaca madanvita isa putram ca mam vidhi kumari garbha sambhavam aham isa masiha nama, Sang Raja bertanya, “Bolehkah saya tahu siapa anda?” Dengan riang yang ditanya menjawab, “Ketahui lah saya adalah putra Tuhan yang lahir dari rahim wanita perawan dan saya dikenal dengan nama Isa Al Masih (Bhavisya-purana, Skanda III Bab 2 sloka 26-27)”.

Lebih lanjut Jesus menjelaskan tentang dirinya, “Wahai sang Raja, saya datang dari negeri jauh dimana kebenaran tidak bisa tinggal lama dan kejahatan sudah merajalela tanpa batas. Saya lahir di masyarakat Amalakit sebagai Al Masih. Karena saya lah orang-orang jahat dan ber dosa menderita, dan saya juga menderita ditangan mereka ( Bhavisya-purana, Skanda III, Bab 2, sloka 29-30)”.

Dikisahkan bahwa ketika Jesus kembali ke India (Kashmir sekarang), ia datang bersama ibunya Maria dan sejumlah pengikutnya. Penduduk setempat menyebut Jesus dengan nama Yuz Asaf, sebab ia akhli menyembuhkan orang-orang sakit (Yuz = pemimpin,akhli, Azaf = tersembuhkan). Jadi Yuz Asaf berarti pemimpin orang-orang yang telah disembuhkan.

Dalam buku “Acts Of Thomas” diceritrakan tentang perjalanan Jesus beserta Thomas di Pakistan (yang pada waktu itu bernama Taxila) dan kunjungan mereka ke istana Raja Gandapura (=Gundafor) tahun 47 Masehi.

Kira-kira 40 km selatan Srinagar terdapat dataran rendah nan luas yang disebut Yuz-marg, padang rumput Jesus. Disinilah beberapa suku Israel bermukim sekitar tahun 722 sebelum masehi. Mereka hidup sebagai gembala/peternak yang sampai saat ini menjadi mata pencaharian penduduk di daerah itu.

Kira-kira 170 km barat kota Srinagar ada kota kecil bernama Mari. Di kota kecil ini terdapat makam ibunda Jesus, makam tua yang disebut “Mai Mari Da Asthan”, peristirahatan terakhir bunda Maria.

Di bagian wilayah tua pusat kota Srinagar yaitu Distrik Khanyar terdapat makam Jesus yang disebut “Rauza-bal” atau “Roza-bal”, makam sang Nabi. Disini ada prasasti yang menyatakan bahwa Yuz Asaf (Isa atau Jesus) datang ke Kashmir puluhan abad silam dan mengabdikan diri pada pencarian kebenaran. Pada batu nisannya tercetak tanda salib, rosary dan dua telapak kakinya yang jelas-jelas menunjukkan bekas-bekas luka disalib.

Makam Jesus (Roza-bal) ini di-bangun oleh muridnya yaitu Thomas sesuai perintah Jesus sebelum wafat. Dimakam ini jenasah Jesus dibaringkan dengan kedua kaki mengarah ke ke barat dan kepala mengarah ke timur sesuai dengan adat orang Yahudi.

Thomas sendiri, sang murid, sesuai perintah Jesus, menyebarkan ajaran sang Nabi di India. Thomas membangun gereja di Malabar, India selatan dan terus ke Mylapur dekat Madras. Dan disini sampai sekarang ada bukit bernama bukit Thomas.

Berkut adalah foto-foto Roza-bal, makam sang Nabi, Jesus.

Kitab Persia kuno “Negaris Tam- i Kashmir” menceritrakan bahwa Raja Shalivahana (=Shalevahin) berkata kepada Jesus bahwa jikalau Jesus perlu wanita pendamping (istri) untuk merawat dirinya, beliau siap mencarikan. Dan Jesus setuju. Dikatakan bahwa Jesus kemudian menikah dengan Maria (Maria Magdalena?) dan darinya Jesus memiliki beberapa putra.

Salah satu keturunan Jesus adalah Sahibzada Basharat Salim. Dia menyatakan dengan sangat hati-hati berdasarkan silsilah tertulis leluhurnya yang panjang bahwa Yuz Asaf (Isa atau Jesus) adalah leluhurnya. Salim berprofesi sebagai photographer.

Gelar “Kristus” yang ditambahkan dibelakang nama Jesus diperoleh setelah ia datang dari India. Kata ini berasal dari kata “Krishna” yang diucapkan oleh orang-orang Benggali menjadi “Kristo”, lalu berubah menjadi “Kristus”.

Penyair istana Raja Akbar menyebut Jesus sebagai “Aikinam i to Yuz O Kristo, anda yang di panggil dengan nama Yuz atau Kristo”.

Gereja berpegang teguh pada doktrin Paulus, “Jesus mati di salib, terus bangkit dan kemudian naik ke langit (sorga) dan duduk di sisi kanan Tuhan”. Sementara itu, penyelidikan para sarjana terhadap “Kafan Turin” menyatakan bahwa Jesus tidak mati disalib. Menanggapi beda pendapat ini, pada tanggal 30 Juni 1960 Paus John XXII mengeluarkan maklumat berjudul “Keselamatan sempurna tubuh Jesus Kristus”, bahwa keselamatan sempurna umat manusia adalah akibat langsung dari darah Jesus Kristus. Akibatnya, kematiannya dianggap tidak penting.

Quoted from the Haladara Prabhu’s Article

Special Thanks for Kama Krishna Prabhu that provided materials for some article in this home page.

Referensi:

1. The Vedic Prophecy : A New Look Into The Future, by Stephen Knapp Published by The World Relief Network, Detroit Michigan USA 1998.
2. Tahun-Tahun Jesus Yang Hilang, oleh Elizabeth Clare Prophet. Penerbit Bina Communio Jakarta 2003.
3. Jesus Wafat Di Kashmir, oleh Andreas Faber Kaiser, Penerbit Darul Kutubil Islamiyah: Gerakan Akhmadiyah Indonesia, Jl. Kesehatan IX/12 Jakarta.
4. Nafiri Maut Dari Lembah Qamran (Dead Sea Scrolls), oleh Saleh A Mahdi. Penerbit PT Arista Brahmatyasa 1992.
5. Isa, Hidup Dan Ajaran Sang Masiha, oleh Anand Krishna, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2000.
6. Nabi Adam Turun Di India, Oleh Faisal Saleh, Penerbit PT Arista Brahmatyasa 199

PERTAPA MUDA DAN KEPITING

Suatu ketika di sore hari yang terasa teduh, tampak seorang pertapa muda sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai. Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian pertapa itu terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan. Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya.
Pertapa itu segera melihat ke arah tepi sungai di mana sumber suara tadi berasal. Ternyata, di sana tampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras. Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Karena itu, ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan terjulur, dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda. Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting. Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya.
Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka, si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya. Hal itu berulang berkali-kali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting. Melihat kejadian itu, ada orang tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur si pertapa muda, "Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?
"Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda. Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa makhluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting," jawab si pertapa muda dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungut sebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya. "Lihat Anak Muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan.
Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun bisa kita manfaatkan, betul kan ?" Seketika itu, si pemuda tersadar.
Umat sedharma, mempunyai sifat belas kasih, mau memerhatikan dan menolong orang lain adalah perbuatan mulia, entah perhatian itu kita berikan kepada anak kita, orangtua, sanak saudara, teman, atau kepada siapa pun. Tetapi, kalau cara kita salah, sering kali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya memecahkan masalah, namun justru menjadi bumerang. Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekadar berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu. Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak.
Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif
bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang membantu ( Red.)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons