“Om Swastyastu,
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan tenologi mepengaruhi perkembangan cara pandang sesorang terhadap tata cara pemujaan kepada Tuhan dalam hal ini adalah perubahan cara menghaturkan sesaji. Banyak kalangan yang setuju banten dihapuskan, ada pula yang setuju banten tetap dilestarikan, namun ada pula yang berpendapat bahwa tidak perlu dihapus tetapi hanya perlu disederhanakan sesuai kebutuhan saja. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas sebenarnya perubahan dari generasi ke generasi akan terjadi dengan sendirinya. Jadi perubahan itu tidak perlu dipaksakan, generasi penerus dan zamanlah yang akan merubahnya. Jika dipaksakan ini hanya akan mengganggu kenyamanan beribadah seseorang. Sebagian besar masyarakat masih enjoy dengan jalan yang mereka tempuh. Bukankah kita sepakat bahwa Hindu itu fleksibel seperti bola karet? Bukankah Hindu itu menyesuaikan desa, kala, patra setempat? Tetapi mengapa ada sekelompok umat yang ingin menghapus sistem banten yang ada? Ini PR kita bersama untuk menjawabnya secara arip dan bijaksana.
Kita dalam belajar buku apapun dan kitab apapun harus dibaca dan dipahami secara keseluruhan, jangan hanya kulitnya saja. Pemahaman yang setengah-tengah hanya akan membuat intrepretasi yang keliru, dan ini hanya akan membingungkan umat. Sehingga mereka bertanya-tanya, Hindu itu yang bagaimana? saya nyaman dalam berbhakti kok diusik? Biarkan Hindu tumbuh dalam keberagaman yang indah. Jangan kita sombong dengan tingkat gelar dan ilmu yang kita milikki.
Jika kita berani meninggalkan teradisi Weda ini maka kesejahteraan dunia ini tidak ada. Kita tidak boleh melupakan tardisi yang suci ini. Dalam Bhagavadgita III.13 juga dikatakan:
Yajna sishtasinah santo
Muchyante sarva kilbishaih
Bhunjate te ty agham papa
Ye paehanty atma karanat
Terjemahannya:
Ia yang memakan sisa-sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) Ia yang hanya memasak bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosa.
Dipertegas lagi dalam Bhagavdgita III.14 dikatakan:
Annad bhavanti bhutani
Parjanyad annasambhavah
Yajnad bhavati parjanyo
Yajnah karma samudhavah
Terjemahannya:
Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna adanya yajna karena karma.
Kita hidup di dunia ada kaitanya dengan kehidupan kita yang terdahulu, kita lahir dengan membawa hutang kepada Tuhan(dewa Rna), Rsi(Rsi Rna), dan leluhur (Pitra Rna). Kita lahir untuk memperbaiki karma kita, artinya kita diberi kesempatan untuk berbuat baik. Mengapa kita sia-siakan, terlebih kita lahir menjadi manusia? Di sinilah pentingnya menghaturkan sesajij. Sesaji merupakan perwujudan ketulusan kita, rasa terimakasih kita kepada Tuhan. Sesaji dapat menghilangkan dosa, lara, dan sial, sebel jika kita tulus mempersembahkannya. Sesaji juga merupakan linggih Tuhan dan leluhur itu sendiri, sehingga sesaji merupakan media komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan leluhur. Banten dapat meningkatkan kualitas kesucian seseorang jika diyakini.
Selama kita masih mau memakan nasi, daging dan makanan yang lainnya, selama itu pula kita tidak boleh lupa menghaturkan persembahan kepada Tuhan. Semua adalah ciptaan Tuhan bukan ciptaan manusia. Manusia hanya tinggal menikmatinya. Kita berhutang kepada Tuhan. Mebanten dapat kita lakukan dalam hal yang paling sederhana seperti Ngejod, Yadnya sesa di pinggir piring sebelum kita makan. Ini yang paling sederhana. Kita dalam menghaturkan sesaji jangan memaksakan diri, apa yang kita punya, dan apa yang kita mampu, itu yang kitra milikki. Jika kita mau peduli dan mau menghaturkan sesaji maka alam juga akan damai.
Demikian wacana hari ini, Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, semoga Tuhan selalu menyertai kita semua.
“ Om Shantih Shantih Shantih Om”
0 komentar:
Posting Komentar