Rabu, 11 Januari 2012

Mulat Sarira di Tahun Baru 2012

       Dengan datangnya tahun baru 2012 berarti kita meninggalkan tahun 2011. Bagi sebagian orang, pergantian tahun merupakan saat yang dinanti-nanti, namun bagi sebagian lagi masih diliputi tanda tanya bagaimana kondisi tahun depan. Setiap pergantian tahun, selalu diikuti dengan refleksi dan resolusi baru. Luangkan waktu untuk melihat kembali apa yang sudah kita raih dalam satu tahun ini. Kemajuan apa saja yang sudah kita peroleh selama satu tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu?  Apakah semua target yang kita tetapkan di awal tahun berhasil kita capai di tahun ini? Adakah prestasi dan pencapaian terbaik yang ingin kita ulang kembali di tahun 2012? Adakah hal-hal yang ingin kita tingkatkan lebih baik lagi di tahun 2012? Apakah ada rencana dan target baru yang ingin kita raih di tahun 2012 nanti? Apakah ada sesuatu yang baru yang ingin kita mulai di tahun 2012 ini? 

Bunga, Air dan Dupa dalam Pemujaan, minimalis yang tetap Idealis

Penggunaan sarana sembahyang itu sebenarnya tidak lebih hanya bermakna simbolis untuk mendukung pemusatan konsentrasi kita ke hadapan Sang Hyang Widhi, seperti misalnya penggunaan sarana dupa yang bermakna sebagai saksi pemujaan sekaligus sebagai pelebur segala kekotoran serta sebagai pengantar doa kita kepada Sang Hyang Widhi (divisualisasikan dengan asapnya yang membumbung ke atas).  Sastra suci menyatakan bahwa upacara yajnya sebesar apapun akan dianggap sah apabila ada wanita sebgai lambang ibu alam semesta dan dupa sebagai saksi pemujaan (penghubung). Jadi kehadiran wanita sebagai perwujudan ibu alam semesta dan dupa sebagai saksi pemujaan sangatlah penting.
Hal yang sama juga terhadap penggunaan kewangen yaitu secara umum berfungsi sebagai Ardhanareswari. Dilihat dari asal usul katanya. Kewangen berasal dari kata wangi, lalu menjadi kewangian, setelah disandikan berubah menjadi kawangen yang berarti keharuman. Ini berarti kewangen juga  berfungsi sebagi sarana menharumkan nama (Prabhawa) Hyang Widhi. Biasanya kita gunakan pada persembahyangan Muspa yang ke tiga dan ke-empat (Dewa Samudaya dan Waranugraha puja). Jika dilihat sari sarana kelengkapannya wujud kewangen secara keseluruhan melambangkan aksara Ongkara. Karena melambangkan aksara suci Ongkara inlah kemudian dalam penggunaan Kewangen itu mengarah ke pengguna/pemujanya yang mengandung makna bahwa bahwa kita mendekatkan diri  pada Hyang Widhi dari yang abstrak ke yang riil, lebih jauh lagi diharapkan semoga Sang Hyang Widhi dapat bersemayam di hati kita masing-masing
Begitupun halnya dengan penggunaan sarana bunga, juga bermakna sebagai  simbolis yaitu sebagai lambang kesucian hati dan ketulusan hati kita dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi. Khusus penggunaan bunga, tidak hanya menjadi monopoli umat Hindu dalam persembahyangan, tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pernyataan rasa dan perasaan orang seseorang misalnya perasaan bahagia, perasaan turut berduka cita hal ini dilambangkan dengan karangan bunga.
     Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, berbeda dengan penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan atau untuk kegiatan di luar persembahyangan. Tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal itu sangat berbeda jika bunga itu diperuntukkan bagi sebagai sarana persembhyangan di samping memenuhi unsur menarik dan indah juga terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan menurut Kitab Agastya Parwa adalah sebagai berikut: bunga yang dimakan ulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Inilah jenis-jenis bunga yang tidak layak digunakan untuk persembahyangan.
       Dengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam persembahyangan kita tidak menggunakan sembarang bunga. Hal ini tentu didasari oleh maksud paling hakiki yang kita ingin mempersembahkan yang terbaik kepada Sang Hyang Wdhi. Semua kembali ke atmanastuti (kepuasan batin). Mudah saja kita mengumpamakanya. Semisal, diri kita pasti tidak mau makan yang sudah basi, atau menerima baju yang sudah rusak, dsb.
    Demikian juga dengan penggunaan air dalam persembahyangan. Air memegang perana yang penting dalam kehidupan umat manusia. Manusia tidak akan bisa hidup jikan tidak ada air. Air diyakini sebagai pembersih segala dosa, lara, wighna. Begitu juga dalam penggunaan bija sebagai sarana persembahyangan. Rasanya kurang lengkap (afdol) jika belum mendapatkan Bija. Bija umat Hindu meyakininya sebagai “wija” benih-benih kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan yang kita harapkan setelah selesai persembahyangan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons